Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si
“Kita tidak sedang menyelesaikan masalah, kita hanya memindahkannya ke tempat baru yang lebih rentan.” Danau Toba tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Dibalik narasi keindahan, promosi wisata, dan euforia geopark internasional, tanda-tanda krisis ekologis terus menguat. Air yang dulu bening kini mulai keruh. Ekosistem pesisir mulai rusak. Limbah domestik dan industri mengendap. Populasi ikan endemik menurun. Dan yang paling mencolok, praktik keramba jaring apung yang tak terkendali.
Ketika dunia menatap Danau Toba sebagai warisan geologis dan budaya, justru kita menyaksikan kebijakan-kebijakan lokal yang tidak sejalan dengan semangat perlindungan. Wacana pemindahan keramba dari kawasan Tanjung Bunga dan Boho ke Pantai Jungak dan Rumah Holi bukan hanya membingungkan, tetapi juga mencemaskan. Pemindahan bukanlah Solusi.
Pemindahan keramba tanpa transformasi sistemik bukan solusi, itu reproduksi masalah. Pantai Jungak dan Rumah Holi bukan zona kosong yang bebas dimanfaatkan. Mereka adalah zona konservasi, bagian dari Zona A4 dalam Perpres No. 81 Tahun 2014. Lokasi ini memiliki nilai ekologis dan spiritual tinggi: rumah bagi ikan endemik Batak, air panas alami, dan zona bentang alam untuk ekowisata. Sekali tempat ini rusak, pemulihannya bisa memakan waktu puluhan tahun, atau tak bisa dipulihkan sama sekali.
Kontradiksi dalam Tata Kelola
Salah satu ironi besar dalam pengelolaan Danau Toba hari ini adalah ketimpangan antara narasi dan aksi. Di satu sisi, kita menggelar Toba Jou-Jou, festival budaya-lingkungan untuk menanamkan kesadaran konservasi. Dalam waktu dekat, dunia akan menyoroti kita lewat event internasional King of The Trail, yang akan membawa ribuan pelari dunia menjelajahi kawasan Danau Toba. Namun di sisi lain, justru kebijakan lingkungan yang longgar, inkonsisten, atau bahkan diam-diam dikeluarkan menjadi ancaman besar bagi legitimasi kawasan ini sebagai destinasi ekowisata global.
Apakah Danau Toba akan dikenang sebagai contoh sukses pelestarian berbasis komunitas dan sains? Ataukah ia akan menjadi bukti betapa pendeknya nafas kita dalam menjaga warisan leluhur?

Mengapa Kita Harus Kritis?
Karena kerusakan Danau Toba bukan mitos. Berdasarkan pemantauan lapangan dan laporan warga, perairan di beberapa titik mulai menunjukkan tanda eutrofikasi: limpahan nutrien dari sisa pakan, feses ikan, dan limbah lainnya yang memicu ledakan alga, menghabiskan oksigen, dan membunuh kehidupan air. Dan jangan lupakan: Danau Toba adalah danau vulkanik terbesar di dunia. Jika kita perlakukan seperti kolam buangan, kita bukan hanya membunuh ekosistemnya, kita sedang menghapus harga diri bangsa.
Relokasi atau Transformasi?
Kebijakan lingkungan tak bisa hanya bersifat taktis, ia harus strategis dan transformatif.
Solusi jangka panjang tidak terletak pada relokasi keramba ke lokasi “yang belum rusak”, tetapi pada: Moratorium total terhadap izin keramba baru, terutama di zona konservasi dan wisata.
Rehabilitasi kawasan pesisir yang sudah tercemar. Transformasi sistem budidaya ke model darat tertutup, seperti bioflok, yang lebih ramah lingkungan. Diversifikasi ekonomi: ekowisata, pertanian organik, energi terbarukan.
Pendidikan lingkungan untuk komunitas, birokrat, pelaku usaha, dan wisatawan. Transparansi dan partisipasi publik: publik harus punya akses terhadap data AMDAL, peta daya dukung, dan status izin.
Masa Depan Toba: Titik Balik atau Titik Hancur?
Saat ini, dunia sedang menyaksikan. UNESCO sedang mengevaluasi status Geopark Toba. Investor mulai melirik kawasan ini sebagai potensi green tourism. Diaspora mulai pulang untuk membantu desa-desa berkembang sebagai pusat budaya dan homestay berbasis komunitas. Namun semua ini akan sia-sia jika pemerintah pusat dan daerah tidak tegas dalam berpihak pada pelestarian.
Kita tidak butuh lebih banyak promosi jika kenyataan di lapangan adalah limbah, kerusakan, dan konflik ruang. Kita tidak butuh jargon keberlanjutan, jika setiap kebijakan hanya jadi tameng untuk eksploitasi baru.
Ajakan untuk Semua Pemangku Kepentingan
Tulisan ini bukan hanya kritik, ini seruan. Untuk semua pihak yang mencintai Danau Toba: Pemerintah pusat: Jadilah penjaga konsistensi kebijakan lingkungan nasional. Jangan kompromi pada tekanan lokal atau ekonomi jangka pendek.
Pemerintah daerah: Jangan menjadi fasilitator perusakan, tetapi pelindung warisan kawasan. Tegakkan aturan.
Pelaku usaha: Wujudkan ekonomi hijau, bukan kapitalisasi sumber daya. Akademisi dan peneliti: Berikan data, kajian, dan suara ilmiah yang jujur. Komunitas dan pemuda lokal: Jadilah agen perubahan, bukan korban.
Media: Bawa cerita ini ke ranah nasional dan global. Diaspora: Kembalilah dengan solusi, bukan nostalgia.
Penutup: Danau Toba, Simbol Atau Kubangan?
Danau Toba tidak sedang menanti untuk dipuji. Ia sedang menjerit untuk diselamatkan.
Jika kita gagal hari ini, maka 10 hingga 15 tahun ke depan, anak cucu kita akan bertanya: “Mengapa kalian biarkan Danau Toba menjadi kubangan limbah raksasa yang gagal diselamatkan oleh bangsanya sendiri?”
Zero Keramba adalah jalan minimal. Bukan maksimal. Tapi kalau kita gagal di titik minimal ini, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang diam ketika Toba memudar. Zero Keramba. Now or Never.
***
Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) dan Penggiat Lingkungan