Wilmar E. Simandjorang: Geopark Tak Cukup Jadi Gelar

Wilmar Eliaser Simandjorang
Wilmar Eliaser Simandjorang

Medan | EGINDO.com – Dalam perdebatan panjang tentang masa depan Toba Caldera UNESCO Global Geopark, satu suara tetap terdengar jernih, kritis, dan konsisten. Bagi Dr. Wilmar E. Simandjorang, geopark bukan hanya tentang label internasional, melainkan komitmen jangka panjang terhadap konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. “Status geopark tak boleh berhenti sebagai label. Ia harus hidup dalam tindakan dan dampak nyata di lapangan,” ungkap Wilmar kepada EGINDO.com belum lama ini.

Status Tak Menjamin Substansi

Toba Caldera resmi menyandang status UNESCO Global Geopark (UGGp) sejak 2020. Namun di balik pengakuan itu, pertanyaan besar bergema: apakah masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya?

Wilmar, ekonom lingkungan dan Direktur Pusat Studi Geopark Indonesia, memandang banyak hal mendesak yang belum tersentuh secara sistematis. Ia mengamati minimnya interpretasi geologi di geosite, lemahnya data dampak sosial-ekonomi, hingga keterlambatan pembentukan lembaga pengelola geosite di tujuh kabupaten. “Tanpa keterlibatan masyarakat dan edukasi yang serius, geosite hanya menjadi titik foto, bukan ruang belajar atau sarana pemberdayaan,” katanya.

Menuju Green Card 2025: Tantangan Nyata

UNESCO akan melakukan revalidasi pada 2025. Toba terancam kehilangan status jika tak mampu menunjukkan bukti nyata atas pengelolaan yang berstandar UGGp. Dalam satu artikelnya yang terbit di EGINDO, Wilmar menulis tajam: “Jika pengelolaan 16 geosite Toba Caldera dilaksanakan melalui struktur yang profesional, partisipatif, edukatif, berkelanjutan, dan terpadu—serta dibuktikan dengan tindakan nyata… maka Green Card UNESCO 2025 bukan sekadar harapan, tetapi kenyataan.” (EGINDO.com Maret 2025)

Ia juga mengusulkan audit independen terhadap dokumen yang akan diserahkan ke UNESCO, termasuk pemetaan ulang warisan geologi dan keterlibatan mitra strategis.

Kritis, tapi Membangun

Dr. Wilmar bukan semata pengkritik. Ia juga aktif dalam edukasi masyarakat, menjadi narasumber pelatihan interpretasi geosite, dan menyumbang gagasan dalam berbagai forum geopark nasional. “Fokus harus diarahkan pada konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan—bukan sekadar pencitraan di media sosial,” tulisnya dalam Telisik di EGINDO.com sebelumnya.

Kritik tajamnya terhadap ketidaktertiban dalam transisi kepemimpinan geopark menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan “bisnis as usual” dalam birokrasi. Wilmar menyerukan pentingnya dokumen serah terima jabatan, kejelasan tugas kelembagaan, dan pelaporan kinerja pengelola geosite secara terbuka.

Jejak yang Meninggalkan Dampak

Dalam beberapa bulan terakhir, wacana yang diangkat Dr. Wilmar mulai menggugah perhatian publik dan pemangku kepentingan. Kelompok Kerja Pengelola Geosite kini mulai dibentuk di beberapa kabupaten. Beberapa geosite juga mulai memperbaiki papan interpretasi dan mengintegrasikan narasi geologi lokal.

Meskipun prosesnya belum ideal, Wilmar percaya bahwa perbaikan dimulai dari kesadaran dan kemauan memperbaiki sistem. “Geopark adalah laboratorium hidup. Kita harus serius membangunnya agar warisan alam ini tidak hanya indah dipandang, tapi juga bermakna secara sosial dan ekonomi,” ujarnya.@

Red/timEGINDO.com

Scroll to Top