Jakarta|EGINDO.co Pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto mengatakan, Tilang manual diberlakukan kembali dengan pelaksanaan lebih selektif prioritas. Sasaran penilangan dibatasi jenis pelanggaran yang telah ditentukan ( 12 pelanggaran ), petugas dibekali Sprint dan Skep penyidik/ penyidik pembantu atau bersertifikasi pengawasan petugas lantas.
Lanjutnya, Teknis pelaksanaan pun melalui pentahapan peneguran ( lisan & tulisan ), dan terakhir adalah dengan tilang.
Ia katakan, Semangat diskresi yang melekat pada setiap anggota harus mampu dikembangkan, merujuk pasal 18 ayat ( 2 ) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang subtansinya setiap petugas diberikan otoritas untuk melakukan penilaian sendiri terhadap tindakan yang dlakukan untuk kepentingan umum.
Mantan Kasubdit Bin Gakkum AKBP ( PÂ ) Budiyanto menjelaskan, Setiap pelanggaran lalu lintas memilki bobot yang berbeda, pelanggaran ringan, sedang dan berat. Otoritas Petugas akan dapat diimplementasikan
pada saat mendapatkan pelanggaran di jalan, apakah cukup diberikan teguran atau dengan tilang.
Tindakan ini menurut pengamat transportasi dan hukum Budiyanto, sejalan dengan kewenangan diskresi dan perintah penggunaan kembali tilang manual.
Ungkapnya, Penegakan hukum adalah langkah atau alternatif terakhir, sehingga perlu dibarengi dengan upaya pengawasan daerah trouble,( rawan macet ) dan daerah black spot ( rawan laka lantas ).
Dikatakan Budiyanto, Daerah trouble spot juga merupakan sumber pelanggaran yang perlu ada pengawasan untuk menekan atau meniadakan pelanggaran. Demikian juga daerah black spot pengawasan bertujuan untuk meniadakan hazard atau potensi yang dapat mengakibatkan kecelakaan.
“Pengawasan daerah trouble spot dan black spot dengan diimbangi langkah penegakan hukum ( justice dan non justice ) secara rutin dan konsisten akan dapat memberikan kontribusi terciptanya kamseltibcar lantas, ” tutup Budiyanto.
@Sadarudin