The PRAKARSA: 14 Juta Warga Miskin Multidimensi Tidak Masuk Data BPS

Penduduk miskin di Jakarta
Penduduk miskin di Jakarta

Jakarta | EGINDO.com – The PRAKARSA lembaga riset dan advokasi kebijakan menyebut ada 14 juta warga miskin multidimensi tidak masuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dan BPS mencatat angka kemiskinan nasional kembali mengalami penurunan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat 23,85 juta jiwa, atau turun 8,57% dibandingkan September 2024.

Sedangkan menurut lembaga riset dan advokasi kebijakan The PRAKARSA, angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan realitas kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, metode yang digunakan BPS dinilai sudah usang dan belum menangkap dimensi-dimensi penting dari kemiskinan yang sebenarnya. Peneliti Kebijakan Sosial PRAKARSA Pierre Bernando Ballo menjelaskan, ketika seseorang dikategorikan sebagai tidak miskin berdasarkan Susenas, bukan berarti realitasnya mereka tidak hidup dalam kemiskinan.

Menurut lembaga riset dan advokasi kebijakan hal itu dikarenakan BPS masih menggunakan metode lama berbasis moneter yang mengukur garis kemiskinan makanan (GKM) dan non-makanan (GNKM), atau umumnya dikenal dengan metode cost of basis needs (CBN).

Peneliti Kebijakan Sosial PRAKARSA Pierre Bernando Ballo dalam keterangan resminya yang dilansir EGINDO.com menyebutkan metode tersebut cukup oudated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah.

Pierre menyarankan penggunaan Indikator Kemiskinan Multidimensi (IKM) yang mempertimbangkan faktor-faktor non-moneter seperti ketiadaan akses air minum bersih, kondisi tempat tinggal, hingga tingkat morbiditas. The PRAKARSA mencatat bahwa pada tahun 2022, terdapat sekitar 14 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan multidimensi, meskipun banyak dari mereka tidak tercakup dalam data kemiskinan resmi BPS.

Hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara data statistik dan kenyataan sosial. “Sebagai contoh, ketika seseorang tinggal di rumah tidak layak huni, dia bisa dikatakan miskin. Tetapi karena indikator itu tidak bisa diubah menjadi pengeluaran, maka dia dikategorikan tidak miskin berdasarkan perhitungan BPS,” kata Pierre.

Untukitu Pierre meminta pemerintah untuk tidak hanya menaikkan garis kemiskinan, tetapi juga melebarkan cakupannya, agar mampu menangkap berbagai aspek kemiskinan yang tidak bisa dikuantifikasi dalam bentuk uang.@

rel/timEGINDO.com

Scroll to Top