Tentang Premis Amerika Serikat Di Ambang Kemunduran

Pendukung Presiden AS Donald Trump memanjat tembok Gedung Capitol saat protes terhadap sertifikasi hasil pemilihan presiden Amerika Serikat 2020 oleh Kongres AS di Washington, Amerika Serikat
Pendukung Presiden AS Donald Trump memanjat tembok Gedung Capitol saat protes terhadap sertifikasi hasil pemilihan presiden Amerika Serikat 2020 oleh Kongres AS di Washington, Amerika Serikat. (Foto: Antara)

Oleh: Jafar M Sidik

Kerusuhan 6 Januari 2021 di Gedung Capitol dan semakin dalamnya perpecahan di dalam negeri memicu kembali premis bahwa Amerika Serikat tengah menuju episode terakhirnya seperti dialami imperium-imperium dunia sebelum mereka. Yan Xuetong, salah satu penasihat kebijakan paling berpengaruh di China yang juga profesor hubungan internasional pada Universitas Tsinghua, menjadi orang kesekian yang menyatakan AS tengah berada di ambang kemunduran.

Dalam wawancara dengan mingguan bergengsi Jerman, Der Spiegel, Xuetong menyatakan setiap imperium selalu mengalami tahap muncul, bertahan hidup dan terbenam. Semua imperium niscaya terbenam, demikian juga AS. Xuetong mengaku tidak kaget oleh adanya skenario kemunduran AS, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana kemunduran itu terjadi. “Inggris pernah menjadi kekuatan utama dunia dalam waktu lama dan kemundurannya terjadi perlahan selama puluhan tahun. Uni Soviet hancur laksana gelas yang jatuh ke lantai. Saya kira kemunduran AS akan menyerupai Inggris,” kata Xuetong.

Xuetong menunjuk sejumlah faktor, termasuk kebijakan luar negeri AS yang tidak lagi memiliki kredibilitas yang makin rusak oleh unilateralisme Donald Trump yang kini tengah dianulir oleh Joe Biden. AS juga tercoreng oleh caranya memperlakukan demokrasi ketika akun Twitter milik Trump pun diblok dan hak Trump untuk dipilih kembali berusaha dimatikan oleh pemakzulan di Senat.

Negara yang dianggap pendekar demokrasi dunia yang menyanjung kebebasan berpendapat itu kini malah cenderung tak menoleransi opini berbeda yang justru mendegradasi dirinya baik di mata sekutu maupun rezim-rezim otoriter seperti China yang kian percaya diri bahwa sistem merekalah yang tepat bagi dunia. Anggapan AS di ambang kemunduran sebenarnya sudah tercetus sejak puluhan tahun silam, di antaranya setelah Uni Soviet mengalahkan AS dalam perlombaan ke antariksa setelah meluncurkan Sputnik 1 pada 1957 dan ketika AS kalah perang di Vietnam pada 1975.

Bukan hanya Yan Xuetong dan pakar-pakar China yang aktif menghembuskan teori kemunduran ini karena di AS sendiri pandangan itu tumbuh subur jauh sebelum Trump. Uniknya pandangan ini dibangun di atas premis-premis relatif sama dari masa ke masa. Harvard Business Review edisi Juli-Agustus 1992 misalnya, menulis bangsa yang pernah disanjung karena optimismenya yang tinggi itu berubah menjadi terobsesi pada kemunduran setelah menyaksikan tingkat upah yang anjlok, produktivitas yang menurun, perusahaan nasional yang tidak kompetitif di pasar global, kerah putih yang tak lagi nyaman, infrastruktur yang mandek, defisit anggaran yang menjulang, sistem kesehatan yang timpang, kota-kota yang tak lagi aman dan kian besarnya jurang antara miskin dan kaya.

Baca Juga :  Evergrande Didenda US$577 Juta Karena Penipuan Penerbitan Obligasi

Faktor-faktor yang disebut 29 tahun silam itu juga menjadi subyek-subyek yang dirangkumkan Trump dalam slogannya, “Make America Great Again”. Ironisnya gagasan ini kemudian membuat negara adidaya pelopor multilateralisme itu malah menjadi Amerika-sentris yang menolak kerangka konsultasi global. Selanjutnya: China antusiastis China antusiastis

Trump, menurut Rush Doshi, pakar China dari Universitas Yale dan pengarang “The Long Game: China’s Grand Strategy to Displace American Order“, bukan hanya telah membuat AS makin lemah, namun juga mempercepat kemunduran itu. Pandangan Doshi sejalan dengan asumsi para pemimpin China yang antusiastis mengikuti diskursus kemunduran AS karena dimuati kepentingan menjadikan China bukan lagi pemain regional tetapi juga negara adidaya lainnya.

Dari awal Trump berusaha menarik keterlibatan terlalu luas AS di dunia karena cara ini menguras energi nasional AS. Dan gagasan ini sudah lama disampaikan sejumlah kalangan jauh sebelum Trump masuk Gedung Putih. Paul Kennedy, sejarawan dan pakar hubungan internasional terkemuka, pada 1987 sudah mengingatkan bahaya terlalu besarnya proyeksi kekuatan ke segala penjuru dunia itu dalam buku termasyurnya “The Rise and Fall of the Great Powers“.

Menurut Kennedy, “total kepentingan dan beban global Amerika Serikat jauh lebih besar ketimbang kemampuannya dalam mempertahankan dirinya sendiri.” Ini yang mungkin hendak dikoreksi Trump. Tetapi sayang koreksi ini ditempuh bersamaan dengan kekacauan, kerusakan dan terpecah belahnya AS yang makin parah selama era Trump. Atau jangan-jangan Trump bukan dari elite kemapanan sehingga ide-idenya dianggap terlalu asing untuk kemudian menimbulkan perlawanan.

Baca Juga :  Gempa Magnitude 5.9 Melanda Iran Selatan, Tidak Ada Korban

Yang jelas, situasi seperti ini membuat orang makin terobsesi pada anggapan AS tengah menuju kemunduran yang era ini semakin heboh oleh diskursus sengit di media sosial di kalangan masyarakatnya yang belakangan menggandrungi teori-teori konspirasi yang acap apokaliptik. Tetapi para pemimpin China malah terlihat antusiastis melihat skenario kemunduran AS ini, apalagi sejak lama mereka terus menaksir kekuatan AS. Ketika AS masih jauh di atas China, semasa Perang Dingin, para pemimpin China seperti Deng Xiaoping dan Jiang Zemin mendorong negaranya “menyembunyikan kapabilitasnya dan mengulur waktu.”

Dalam selubung itu, China berusaha mengikis pengaruh AS di kawasan dengan memanfaatkan kapabilitas asimetrisnya guna menangkal kekuatan militer Amerika, membuat kesepakatan-kesepakatan dagang untuk menghalangi tekanan ekonomi AS di kawasan, dan menjadi anggota lembaga-lembaga kawasan guna mematikan kemampuan AS dalam membangun koalisi.

20 tahun kemudian setelah krisis finansial global 2008 di mana Beijing yakin AS tengah melemah, strategi itu pun berubah. Pemimpin China saat itu Hu Jintao meninggalkan strategi menahan diri ala Deng Xiaoping dengan mengadopsi strategi membangun tatanan kawasan. Di sini, China mulai berani memproyeksikan kekuatan untuk mengintervensi kawasan lewat kendaraan Prakarsa Sabuk dan Jalan serta instrumen ekonomi untuk mempengaruhi negara lain dan membangun lembaga-lembaga internasional guna membuat regulasi kawasan.

Selanjutnya: Perang Dingin kedua Perang Dingin kedua. Namun, empat tahun terakhir ini China tengah memasuki fase ketiganya dalam cara menghadapi AS, setelah rakyat Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa dalam referendum Brexit dan setelah Trump menjadi presiden AS. China tak menyangka dua negara demokrasi paling berpengaruh itu angkat kaki dari tatanan internasional yang justru telah membesarkan mereka.

China tentu saja memacu kekuatannya dalam segala penuh pada segala matra, termasuk militer, terutama ke kawasan-kawasan terdekat seperti Laut China Selatan. Para pemimpin dan pakar-pakar China pun berani menyatakan era baru yang berpihak kepada China telah tiba, di antaranya karena Trump, seperti disebut Yan Xuetong “telah menghancurkan sistem aliansi pimpinan AS” sehingga menguntungkan China, dan karena AS “secara spiritual sudah kelelahan, secara fisik lemah dan tak bisa lagi memimpin dunia” seperti disebut profesor hubungan internasional China lainnya, Wu Xinbo.

Baca Juga :  Sekarang Bukan Waktunya Bahas Keanggotaan NATO Ukraina

Pandemi COVID-19 membuat China semakin percaya diri sampai Presiden Xi Jinping menyatakan saatnya meninggalkan era “menyembunyikan kapabilitas” untuk masuk menjadi pusat panggung dunia. Namun sejumlah kalangan justru meyakini AS memancing China masuk menjadi kekuatan adidaya agar AS memiliki lawan sepadan seperti rivalitasnya dengan Uni Soviet semasa Perang Dingin. “Saat ini banyak elite Amerika yakin AS di ambang masuk perang dingin kedua yang kali ini lawannya adalah China,” kata jurnalis terkemuka Financial Times, Gideon Rachman. Dengan memposisikan China sebagai musuh eksternal, maka AS akan lebih bersatu di dalam negeri karena memiliki musuh bersama.

Tetapi itu masih tergantung kepada seberapa berhasil Joe Biden memerintah AS, termasuk memulihkan perekonomian, menyukseskan vaksinasi, dan mendinginkan suasana di dalam negeri. Jika Biden berhasil, maka kredibilitas AS akan pulih, terutama di mata sekutu-sekutunya di Barat yang membutuhkan kisah sukses untuk menaikkan moralnya sendiri dalam meraih lagi reputasi. Namun kerusuhan di Capitol dan serangan terus menerus Trumpisme terhadap kelembagaan demokrasi di AS membuat negara ini akan kesulitan mempromosikan demokrasinya dan dalam beradu melawan China, Rusia atau kekuatan-kekuatan yang dianggap Barat cenderung otoriter.

Bahkan sekalipun Biden sudah berjanji bekerja sama dengan sekutu-sekutunya dalam masalah keamanan, perubahan iklim dan perdagangan, jalan yang dilalui AS tak lagi lagi normal. Uni Eropa yang terikat pakta investasi dengan China misalnya, tak akan gampang memalingkan muka dari China sepanjang tak ada pasar dan modal sebesar seperti ditawarkan China.

Sebaliknya, jika Biden gagal, China praktis memegang momentum, dan membuat efektivitas demokrasi multipartai digugat, selain membangkitkan lagi populisme dalam postur yang mungkin lebih besar pada pemilu 2024. Pada akhirnya, Biden menjadi kunci untuk menjawab skenario kemunduran AS tersebut.@

ant/TimEGINDO.co

Bagikan :
Scroll to Top