Syair Syair Hamzah Al Fansuri, Penanda Berasal Dari Barus

Jembatan Hamzah Al Fansuri di Kampung Mudik Barus
Jembatan Hamzah Al Fansuri di Kampung Mudik Barus

Medan | EGINDO.co – Dari syair-syair Hamzah Al Fansuri, menandakan penyair sufi itu berasal dari Barus. Kenyataannya, keberadaan penyair Hamzah Al Fansuri bisa dilihat dalam syair-syairnya meskipun di kota tua Barus kini tidak ditemukan lagi jejaknya. Ungkapan mengatakan bukan penyair yang menyatakan dirinya penyair akan tetapi syairlah yang melahirkan penyair.

Hal itu dikatakan Ketua Yayasan Badan Warisan Soematra (BWS) Ir. Fadmin Prihatin Malau pada Rabu (22/12/2021) malam lalu dalam Diskusi Interaktif Webinar “Update Pengetahuan Tentang Barus” atas kerjasama AW Sumatera Utara Chenel dengan PW. Alwashliyah Sumatera Utara.

“Saya hanya membaca dan membedah syair-syair Hamzah Al Fansuri yang begitu kuat menggambar berasal dari Barus meskipun banyak yang menilai Hamzah Al Fansuri asalnya masih misteri,” kata Fadmin Malau yang juga Pemimpin Redaksi EGINDO.co Jakarta.

Menurut para ahli sejarah memperkirakan abad ke-16 karya-karya Hamzah Al Fansuri itu seiring adanya Kerajaan Aceh dimana murid Hamzah Al Fansuri seperti Syamsuddin Pasai yang menjadi ulama istana pada era Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammil (1588-1604). Kemudian syair syair Hamzah Al Fansuri juga telah diulas para sastrawan Indonesia dan dunia seperti A. Teeuw, Drewes, Syed Muhammad Naguib al-Attas, A. Hasjmy dan Abdul Hadi W.M.

Baca Juga :  Gedung BI Menjadi Pusat Heritage Medan

Hamzah Al Fansuri termasuk penyair pengelana yang juga seorang ulama, cendikiawan yang terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain diantaranya Aceh Darussalam, Riau, Kudus, Banten, Siam, Semenanjung Melayu, India, Persia dan di Arab.

Hal yang menarik kata Fadmin apa bila mencermati karya Hamzah Al Fansuri yang ada pada abad ke-16 sepertinya telah lahir kesusastraan Indonesia modern. Syair-syair yang ada pada era kesusastraan Indonesia modern seperti Syair Perahu, Burung Pingai, Bismillahir Rahmanir Rahim dan lainnya.

Dikatakan sepertinya telah lahir kesusastraan Indonesia modern karena ciri-ciri syairnya sama dengan ciri-ciri kesusastraan Indonesia modern yakni syair tentang kehidupan sehari-hari atau pada zamannya. Berani berpendapat, berani menentang pendapat umum, bahasa syairnya lugas, syair bersifat modern, bertema rasional berdasarkan fakta yang ada zaman itu dan berproses dinamis serta berkembang untuk masa mendatang. “Syair atau karya Hamzah Al Fansuri sama dengan karya sastra angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan angkatan karya sastra sekarang,” katanya.

Tentang banyak berpendapat Hamzah Al Fansuri masih misteri menurut Fadmin karena makam Syaikh Hamzah Al Fansuri ada di Oboh Kecamatan Runding Pemerintahan Kota Subulussalam Aceh. Ada makam Syaikh Hamzah Al Fansuri di Desa Ujung Pancu Kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar dan ada pula yang mengatakan di Mekkah. Makam di kampong Obor bertulis: Inilah makam Hamzah Fansuri mursyid Syeikh Abdurrauf. Disebutkan pula Hamzah Fansuri wafat pada 1016H/1607M.

Baca Juga :  Pengurus Filateli Sumut Periode 2023 – 2028 Dikukuhkan

Namun, jika melihat dari syair-syairnya kata Fadmin secara hipotesa Hamzah Al Fansuri dari Barus, ditambah lagi dari nama belakang Hamzah yakni Fansuri atau “Fansur” menandakan berasal dari Barus, kampung tua yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga di daerah pesisir barat pulau Sumatra.

Syair Hamzah Al Fansuri berjudul “Burung Pingai” yakni; Hamzah Fansuri di Negeri Melayu/ Tempatnya kapur di dalam kayu/ Asalnya manikam tiadakan layu/ Dengan ilmu dunia di manakan payu//

“Ada kata “kapur” dalam syair bermakna “Barus” yang akhirnya tercipta kosa kata majemuk yakni kapur barus. Begitu juga Syair Perahu terlihat Hamzah Al Fansuri menceritakan tentang Barus yakni; Hamzah Fansuri di dalam Makkah/ Mencari Tuhan di bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah//

“Dalam syair Perahu ini, Hamzah Al Fansuri dengan tegas dan jelas mengemukakan, menyebutkan siapa dirinya dan dimana berada pada waktu itu. Jelas dalam syair itu keberadaan Hamzah Al Fansuri di Barus karena menggambarkan alam Barus kala itu,” katanya menjelaskan.

Baca Juga :  Wapres: Perbaikan Kesejahteraan Petani Sawit

Apa yang ada dalam catatan sejarah ada pada syair Hamzah Al Fansuri seperti menggambarkan keberadaan Barus sebagai Bandar atau pelabuhan internsional lewat Syair Dagang yakni; Hai sekalian kita yang kurang/ nafsumu itu lawan berperang/ jangan hendak lebih baiklah kurang/ janganlah sama dengan orang/ Amati-amati membuang diri/ menjadi dagang segenap diri/ baik-baik engkau fikiri/ supaya dapat emas sendiri//

“Jelas digambarkan Barus sebagai bandar atau pelabuhan dimana terjadi aktivitas perdagangan sebagai petunjuk daerah itu berada di Barus,” kata Fadmin. Meskipun begitu dirinya menyerahkan kepada para ahli sejarah, para antropologi untuk melakukan penkajian lebih dalam tentang sosok Hamzah Al Fansuri dari mana sebenarnya.

Sedangkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Rusmin Tumanggor MA mengatakan ditemukannya konsep bahasa melayu yang dimodifikasi menjadi bahasa Indonesia yang berlaku secara nasional dan mendunia, semenjak dianalisa Syair-Syair Hamzah Fansuri pada abad ke-16.

Diskusi Interaktif Webinar “Update Pengetahuan Tentang Barus” itu dipandu Drs. Shohibul Anshor Siregar, M.Si, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Interaktif & Swadaya (Nbasis) juga menjadi pembicara Ketua Prodi Antropologi Sosial Fisip USU Medan Dr. Irfan Simatupang, M.Si.@

 Rel/TimEGINDO.co

 

Bagikan :
Scroll to Top