Suku Terasing Di Halmahera (Maluku Utara)

Suku Alifuru

Jakarta | EGINDO.co – Enampuluh enam tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing “Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka” betapa saudara kita yang terasing, dan tentu terbelakang itu seperti menampar muka kita. Sayang tak banyak yang kita tahu. Kita kehilangan obor untuk mengenali mereka. Itu karena kita diam, dan segaja melupakan mereka. Belum menginventarisasi, dan  belum menuliskannya dalam lembar sejarah untuk disosialisasikan sebagai ‘keluarga besar’ bangsa Indonesia. Dengan pola hidup nomaden, mengembara di hutan-hutan. Namun tak sedikit yang hilang akibat bencana alam dan konflik antar-suku yang membuatnya terberai dan punah. Suku Tukuru di Halmahera mungkin tinggal kenangan. Jejaknya tak terdeteksi. Dia raib akibat hutan yang habis. Juga tabiatnya yang takut melihat manusia lain. Ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan dan melakukan reproduksi. Suku ini mengikuti jejak Suku Moro yang hilang misterius di abad sebelumnya.

 

Bila mendengar kata “Alifuru, maka yang muncul dalam pikiran semua orang di Maluku pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. kata “Alifuru, sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif, keterbelakangan, ketertinggalan, kolot, kebodohan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa.

Di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimbah bersama sultannya yang legendaries itu.

Baca Juga :  Kemenkeu Sebut Pemerintah Tingkatkan Dana Otsus Papua

Selain itu menurut Resley, kata “Alifuru” yang merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal dari bahasa Arab (Alif), Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XIV, sudah ada bangsa yang mendiami kepulauan Maluku yang penyebarannya dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”. Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) dan Halmahera yang memiliki budaya atau system pemerintahan “ALLUF” yaitu: kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku.4  Alluf dalam pengertian Ibrani adalah: Panglima, pemimpin

Dalam perjalan sejarah Maluku Utara, tidak terlepas juga dengan orang alifuru, yang mana mereka direkrut oleh Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore) untuk melawan kaum penjajah  yang pernah mendiami Maluku Utara. Namun tidak banyak penulis yang bijak untuk mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi.

Tahun 1570 Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.  Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya beliau menemukan bangkai kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter). Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Kora-kora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi.

Baca Juga :  Optimisme Pada Perdagangan Saham Hari Ini

Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Alifuru yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Sultan Nuku. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prins Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa. Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.

Orang Alifuru Halmahera, sudah mendiami Halmahera selama ratusan tahun, selama ini mereka identik dengan julukan penguasa rimba. Komunitas dengan populasi yang kian menyusut ini menggunakan bahasa Tobelo Dalam atau Tobelo halus dalam komunikasi keseharian mereka. Sedikit banyak mereka punya kemiripan dengan suku Alifuru yang mendiami pulau Seram, sehingga sebagian orang menjuluki Alifuru Halmahera. Tapi, menilik bahasanya, sebagian masyarakat local Halmahera menyebut mereka sebagai Tobelo Dalam, Julukan dalam bahasa Tobelo (bahasa yang juga dipakai komunitas ini) adalah, Ohongana Manyawa atau penghuni rimba. Mereka lebih suka dengan sebutan tersebut.

Baca Juga :  Airlangga: Ekonomi Superbike Capai Rp500 Miliar per Event

Setelah Portugis dan Belanda yang mendapat kesempatan untuk melakukan ekspansi di Halmahera bagian Utara, ajakanpun dilakukan, mereka dikeluarkan dengan maksud dimasyarakatkan, tapi karena dikenai pajak (blasting),  sesuatu yang bertentangan dengan semangat kebebasan dalam hutan selama ini, mereka lalu masuk hutan lagi. Jadi menurut penulis bahwa; orang Alifuru Halmahera, bukan berasal dari orang-orang yang melarikan diri dari Pesisir ke Hutan, namun keberadaan mereka sudah berada ratusan tahun lamanya.

Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang Alifuru Halmahera ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahirpun berbeda pula. karena terus tergusur sepanjang sejarah, mereka cenderung sangat protektif dan curiga terhadap pendatang. Stigma sebagai pembunuh juga muncul karena kecurigaan yang berlebihan terhadap orang asing. Tak bisa heran jika sikap penguasa rimba ini seperti itu, karena sejarah panjang hidup mereka. Makanya, setiap orang asing selalu dipandang curiga, dan ditempatkan sebagai orang yang potensial untuk dimusuhi. Sekarang, mereka makin tergusur. Selain oleh penduduk lokal, juga oleh penambangan raksasa korporat asing di wilayah adat mereka. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memulihkan hak-hak adat mereka. Juga demi kelangsungan hayati, karena cara hidup mereka sangat tidak mengganggu keseimbangan alam “satu pohon sebagai penanda satu kelahiran bayi” sekaligus menjadi penjaga keanekaragaman hayati dan keseimbangan dalam rimba. Hal tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama, selain pemerintah yang terkait, mengingat mereka adalah manusia yang mana ingin hidup dengan gaya dan cara mereka yang telah turun temurun dari nenek moyang terdahulu.

 

Sumber: irfanahmad12.blogspot

 

Bagikan :
Scroll to Top