Suap Hakim: Rusaknya Integritas Peradilan dan Kepercayaan Publik

Praktisi hukum Maruli Simalango, S.H.
Praktisi hukum Maruli Simalango, S.H.

Jakarta|EGINDO.co Konsekuensi Hukum Apabila Seorang Hakim Menerima Suap. Hakim merupakan pilar utama dalam sistem peradilan yang bertugas menegakkan hukum dan memberikan keadilan kepada masyarakat. Karena peran pentingnya ini, seorang hakim diharapkan bersikap adil, tidak memihak, dan menjaga integritas serta kepercayaan publik terhadap pengadilan. Namun, praktik suap dan korupsi di kalangan hakim dapat mencederai nilai-nilai tersebut dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Seperti misalnya baru-baru ini indonesia dihebohkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) 3 hakim PN Surabaya yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Ketiga hakim tersebut ditangkap atas dugaan menerima gratifikasi atau suap saat pemberian vonis bebas dalam sebuah perkara pembunuhan. Melalui karya ini, penulis akan mengulas konsekuensi hukum apabila hakim menerima suap untuk mempengaruhi putusan suatu perkara yang ditanganinya.

Konsep Dasar Suap dalam Perspektif Hukum

Dalam hukum Indonesia, suap merupakan tindak pidana yang diatur dalam beberapa undang-undang, terutama dalam:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Suap merupakan tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik, termasuk hakim.

  2. Undang Undang No 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap – Tindak Pidana Suap yang bertentangan dengan kepentingan umum.

  3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Suap termasuk dalam tindak pidana korupsi, yang cakupannya meliputi seluruh pejabat negara termasuk hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya.

Baca Juga :  Ledakan Di Kiev Akibat Intersepsi Rudal

Dalam konteks peradilan, suap dapat diberikan kepada hakim untuk memengaruhi putusan yang akan diberikan dalam suatu perkara. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan dan merusak integritas lembaga peradilan.

Konsekuensi Hukum bagi Hakim yang Menerima Suap

Ketika seorang hakim terbukti menerima suap, ia akan menghadapi beberapa konsekuensi hukum yang berat. Berikut adalah beberapa konsekuensi hukum utama yang dihadapi:

1. Sanksi Pidana

Hakim yang terbukti menerima suap akan dikenai sanksi pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001, Hakim yang menerima hadiah atau janji terkait tugasnya dapat dikenakan hukuman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Pasal 12 : “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;”

Baca Juga :  Dikira Ada Perang, Ternyata Gudang Petasan Terbakar

Hukuman ini diterapkan untuk memberikan efek jera, mengingat hakim memegang posisi yang sangat penting dalam proses peradilan. Lebih dari itu, karena jabatan hakim mengandung tanggung jawab moral dan sosial yang tinggi, penegakannya juga harus tegas untuk menghindari penurunan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

2. Pencabutan Hak sebagai Pejabat Publik

Selain hukuman penjara dan denda, seorang hakim yang terbukti bersalah karena menerima suap dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu. Misalnya, seorang hakim dapat dilarang untuk menduduki jabatan publik lagi setelah menjalani hukuman. Ini diatur dalam Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memungkinkan pencabutan hak tertentu bagi pelaku tindak pidana korupsi.

3. Pemecatan dan Kehilangan Status Kepegawaian

Hakim yang terlibat dalam kasus suap juga akan kehilangan status kepegawaiannya. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memiliki wewenang untuk menindak hakim yang melanggar kode etik dan integritas. Dalam kasus penerimaan suap, sanksi pemecatan adalah langkah yang lazim diambil, bahkan jika hakim tersebut belum atau sedang dalam proses peradilan pidana. Pemecatan ini bertujuan untuk membersihkan lembaga peradilan dari unsur-unsur yang merusak kredibilitas dan profesionalisme lembaga tersebut.

Baca Juga :  El Clasico Jilid 2, Mampukah RRQ Balaskan Dedam

4. Dampak pada Status Sosial dan Profesionalisme

Seorang hakim yang menerima suap tidak hanya dihukum secara hukum dan administratif, tetapi juga kehilangan kehormatan sosial dan profesionalisme. Status sebagai hakim yang seharusnya dihormati berubah menjadi stigma negatif, yang dapat berdampak pada karir profesional bahkan setelah menjalani hukuman. Stigma ini juga berdampak pada masyarakat secara luas, yang mungkin akan meragukan keadilan dan objektivitas sistem peradilan.

Kesimpulan

Hakim adalah sosok penting dalam sistem hukum yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan. Namun, ketika seorang hakim menyalahgunakan kekuasaannya dengan menerima suap, ia tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak integritas sistem peradilan. Konsekuensi hukum bagi hakim yang menerima suap meliputi sanksi pidana, pemecatan, pencabutan hak jabatan, dan dampak sosial yang serius. Oleh karena itu, tindakan suap di kalangan hakim harus diberantas dengan langkah pencegahan yang tegas serta sanksi yang berat untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. (Sn)

************************

Penulis Maruli Simalango, S.H. adalah pemerhati masalah hukum dan praktisi hukum berdomisili di Jakarta

Bagikan :
Scroll to Top