Jakarta|EGINDO.co Pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto mengatakan, Dalam perkara pemeriksan pelanggaran lalu lintas di Pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar ( pasal 213 KUHAP dan 267 ayat 2 UU 22 / 2009 ). Pengguna jalan yang melakukan pelanggaran dapat menitipkan melalui BRIVA ke Bank yang ditunjuk sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, ( 267 ayat 4 UU 22 / 2009 ).
Lanjutnya, Sebagai contoh pengguna jalan yang melanggar rambu- rambu dapat menitipkan besaran uang sejumlah Rp 500.000 ( lima ratus ribu rupiah ). Apabila di kemudian hari
Pengadilan memutuskan pidana denda lebih kecil dari pada denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberi tahu kepada pelanggar untuk diambil ( pasal 268 ayat 1 ).
Ia katakan, Karena minimnya pengetahuan para pengguna jalan / pelanggar tentang mekanisme pengambilan sisa denda tilang, ada dugaan pelanggar enggan untuk mengambil sisa denda tilang tersebut dengan berbagai alasan karena sulit, menyita waktu dan sebagainya.Â
“Padahal sesuai dengan Undang- Undang lalu lintas dan angkutan jalan bahwa sisa denda yang tidak diambil dalam waktu 1 ( satu ) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara ( pasal 268 ayat 2 UU Nomor 22 / 2009 ), ” ujarnya.
Mantan Kasubdit Bin Gakkum AKBP ( PÂ ) Budiyanto menjelaskan, Perlu ada mekanisme yang jelas ( by sistem ) pengembalian sisa denda tilang kepada pelanggar sehingga tidak menyulitkan pelanggar yang akan mengambil sisa denda tilang.
“Siapa yang lebih bertanggung jawab untuk memberikan kemudahan dalam pelayanan pengembalian sisa denda kepada Pelanggar tentunya Jaksa, sebagai eksekutor atau yang melaksanakan putusan Pengadilan, ” tutup Budiyanto.
@Sadarudin