Semangat Dan Harapan Nelayan Tradisional Pantai Andam Dewi

Menanti
Menanti pulang dari laut. (Foto: Fadmin Malau)

Oleh: Fadmin Malau

Indahnya pantai barat pulau Sumatera Utara di Desa Sitiris-tiris, Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara dengan deburan ombak yang tak pernah berhenti memberikan sejuta semangat untuk terus, terus dan terus berusaha menggapai asa, harapan untuk hari depan yang lebih baik.

Sepanjang bibir pantai dengan lautan lepas, samudera Indonesia, banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut, mencari ikan. Mereka adalah para nelayan tradisional yang belum tersentuh teknologi perikanan saat ini, mencari ikan dengan pola tradisional.

Para nelayan tradisional itu sudah tidak banyak jumlahnya dibandingkan dengan nelayan yang sudah tersentuh dengan teknologi perikanan saat ini. Namun, mereka tetap bersemangat dan terus memiliki harapan besar untuk bisa mempertahankan hidup, mencari penghidupan lewat aktivitas menangkap ikan di lautan yang terkadang ramah, terkadang garang.

Syawal Pasaribu menggelar hasil tangkapannya (Foto: Fadmin Malau)

Tetap bersemangat, memiliki harapan besar dengan apa yang mereka lakoni bisa menghidupi keluarganya, menghantarkan anaknya menetap masa depan yang baik. Para nelayan tradisional itu menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan.

Syawal Pasaribu (58) satu dari banyak nelayan tradisional di Desa Sitiris-tiris Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah dahulu adalah Kecamatan Barus yang dimekarkan sehingga Desa Sitiris-tiris kini masuk dalam wilayah Kecamatan Andam Dewi, berpisah dengan kecamatan induk yakni Kecamatan Barus. Sewaktu akan dimekarkan Kecamatan Barus menjadi Kecamatan Andam Dewi yang wilayahnya Desa Sitiris-tiris menjanjikan harapan bila dimekarkan penghidupan masyarakat nelayan di desa itu akan semakin baik. Ternyata harapan tinggal harapan dan hari ini juga mengharapkan agar kehidupan nelayan tradisional dapat semakin baik.

Tentang harapan akan lebih baik jika Kecamatan Barus dimekarkan tidak dipermasalahkan para nelayan tradisional itu karena bagi mereka selagi ada gelombang laut, selagi angin masih berhembus dan ikan masih ada di lautan, itu merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. “Tidak ada pengaruhnya dimekarkan dengan tidak dimekarkan, pengaruh yang besar jika di laut ini tidak ada lagi ikan,” kata Kadaruddin Sialoho (52) seorang nelayan tradisional kepada penulis EGINDO.co.

Mengutip dari laman resmi kependudukan.lipi.go.id menyebutkan hasil tim peneliti PRN Pendidikan Kependudukan-LIPI melakukan kegiatan penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah pada 16 hingga 28 Juni 2021 melakukan kegiatan penelitian, survei lapangan, observasi dan wawancara. Tim melakukan koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tapanuli Tengah, dalam penentuan lokasi survei bahwa Tapanuli Tengah merupakan Kabupaten terletak di pesisir barat Pulau Sumatera. Berdasarkan data dari DKP Tapteng, produksi penangkapan ikan laut tahun 2020 sebesar 42.321 ton, produksi budidaya laut sebesar 1.210 ton dan produksi keramba jaring apung (KJA) sebesar 1.856 ton. Adapun jenis perahu penangkap ikan laut yang digunakan adalah perahu tanpa motor (110 unit), perahu motor tempel (1.472 unit) dan kapal motor (1.020) unit.

Baca Juga :  Nelayan Tradisional Sulit Mendapatkan Solar Bersubsidi

BERUSAHA SENDIRI

Bisa jadi angka-angka produksi perikanan di kabupaten Tapanuli Tengah itu tidak mereka ketahui dan mereka juga tidak mau tahu dengan angka-angka itu. Nelayan tradisional di Desa Sitiris-tiris berbeda dengan nelayan yang sudah tersentuh teknologi perikanan di Kabupaten Tapanuli Tengah. Bedanya mereka tidak memiliki atasan, mereka tidak terikat dengan pengusaha ikan. Mereka tidak ada yang memerintah untuk melaut, melaut atau tidak melaut, mereka yang menentukan.

Mereka setiap hari, pagi dan petang serta malam hari menangkap ikan di laut dengan menggunakan peralatan tradisional. Mereka juga tinggal di rumah sederhana terbuat dari kayu berada persis di tepi pantai laut Indonesia itu.

Setiap hari, pagi dan petang serta malam hari seperti kala itu Sabtu 18 September 2021 petang menjelang Magrib penulis berada di muara Sungai Macco Desa Sitiris-tiris melihat Syawal Pasaribu dan beberapa orang nelayan tradisional lainnya bersiap-siap melaut. Kata Syawal Pasaribu, pagi Subuh tadi juga sudah melaut dan pulang menjelang siang hari. “Yah, ada dapat ikan Gembung tetapi tidak sampai sekilo. Bisalah untuk lauk makan nasi di rumah, tidak ada ikan yang bisa dijual,” katanya lirih mengharap malam itu dia bisa mendapatkan banyak ikan.

Seperti biasanya, petang itu pergi mencari ikan. Sekira dua puluh lima menit menjelang azan Maghrib, cuaca yang mendung dan angin berhembus membuat pepohonan kelapa di pantai itu bergoyang. Namun, Syawal Pasaribu dan juga teman-temannya tidak menghiraukannya, mungkin sudah biasa. Beda dengan yang belum biasa seperti penulis, ada rasa was was, rasa takut menatap laut yang mulai kelam. Bermodalkan lampu batere diikatkan di kepala menembus kegelapan malam dan tiupan angin kencang memecah gelombang laut menjaring ikan.

Perlahan tapi pasti Syawal Pasaribu dan teman-temannya melaut, meninggalkan tepi pantai, meninggalkan beberapa orang nelayan yang tidak melaut di lapau (kedai) kopi di tepi pantai itu seiring dengan datangnya gelap malam.

Gelapnya malam di laut tidak masalah bagi mereka, cukup dengan lampu batere di kepala sudah lebih dari cukup. Begitu pula di tepi pantai, gelap gulita hanya ada lampu seadanya di lapau kopi akan tetapi sudah bisa melakukan semua aktivitas, seperti terang benderangnya lampu di perkotaan.

Baca Juga :  Musk Mengikuti KTT G20 Di Indonesia Secara Virtual

Sekira pukul 21.00 WIB, satu per satu kapal nelayan tradisional yang tadi melaut, kembali ke tepi pantai, menembus gelapnya malam, merapat ke bibir pantai, menambatkan sampannya di batang kayu yang sudah mati. Syawal Pasaribu kembali dari melaut membawa hasil tangkapannya. “Alhamdulillah, ada ikannya,” ucapnya datar.

Selama tiga jam melaut, ternyata ikan Gembung yang didapatnya kurang dari empat kilogram. Syawal Pasaribu menggelar ikan hasil tangkapannya di tepi pasir pantai, ikan segar baru terjaring jala. Penulis lantas memborong semua ikan yang berhasil ditangkapnya. Ketika ditanya berapa harga ikan Gembung itu per kilogram? Ikan Gembung yang tidak sampai empat kilogram itu katanya dihitung saja tiga kilogram dengan harga per kilogram 25.000 rupiah.

Artinya, Syawal Pasaribu mendapat penghasilan Rp.75.000,- malam itu dan ketika pagi menjelang siang hari tadi belum mendapat uang. Menurutnya, biasanya bisa mendapat uang atau penghasilan pagi menjelang siang Rp.50.000,- dan malam bisa Rp.100.000,- Namun, terkadang hanya Rp.75.000,- seperti malam itu.

Para nelayan tradisional yang ada di muara Sungai Macco itu rata-rata seusia dengan Syawal Pasaribu, diatas lima puluh tahun. Rata-rata mereka sudah berumahtangga, memiliki istri dan anak dengan usia sekolah. Hampir semua mereka bermukim di sekitar tepi laut Desa Sitiris-tiris itu sehingga tidak membutuhkan kendaraan menuju tepi pantai untuk melaut.

Rutinitas setiap hari melaut. Laut tempat mencari ikan merupakan lautan lepas Samudra Indonesia, banyak kapal-kapal ikan besar berada di perairan Samudra Indonesia akan tetapi bagi mereka itu tidak masalah selama kapal-kapal ikan besar itu tidak menjala ikan di sekitar daerah tangkapan yang berjarak 1000 meter dari tepi pantai.

Masalah bagi para nelayan tradisional itu cuaca. Jika cuaca bagus mereka melaut atau mencari ikan. Namun, jika cuaca buruk, kecut juga nyali untuk melaut akan tetapi harus dipaksakan juga apa lagi bila pagi menjelang siang tidak mendapat ikan, mau tidak mau harus juga melaut. “Kalau cuaca terlalu buruk seperti hujan, badai terpaksa tidak melaut karena sangat berbahaya,” kata Syawal Pasaribu mengakui.

Saat ini, diakuinya tangkapan ikan sangat berkurang. Penyebabnya, cuaca tidak menentu dan beroperasinya kapal-kapal ikan besar di tengah laut membuat ikan berkurang. Ikan-ikan yang didapat tidak banyak jenisnya, hanya ikan Gembung, ikan Kapas-Kapas sedangkan ikan besar seperti ikan Kakap, ikan Tongkol hampir tidak pernah ada.

Tentang pandemi Coronavirus (Covid-19) para nelayan tradisional itu tidak banyak mengetahui. Namun, diakui mereka sejak banyaknya berita tentang Covid-19 ekonomi semakin sulit. Pasalnya pembeli ikan sedikit yang datang ke tepi pantai, alasannya Covid-19. Umumnya pembeli ikan yang diharapkan adalah mereka yang menginginkan ikan segar tanpa dicampur dengan es batu. “Kalau pembelinya bukan pedagang ikan pengencer, harganya bisa tinggi. Tetapi bila pembelinya pedagang pengencer ikan harganya rendah sebab ikan akan dijual lagi setelah dicampur dengan es batu,” kata Syawal menjelaskan.

Baca Juga :  Twitter Tidak Lebih Aman Di Bawah Elon Musk, Kata Yoel Roth

Para nelayan tradisional itu menjual ikan tangkapannya kepada para pendatang ke tepi pantai untuk mendapatkan ikan segar dan juga kepada para pedagang pengencer ikan atau istilah di daerah tersebut “Pangalong-along”. Namun, para nelayan tradisional itu lebih suka pembelinya para pendatang yang ingin mendapatkan ikan segar karena harga jual sama dengan harga jual “Pangalong-along”. Sejak pandemi Covid-19 pembeli yang bukan “Pangalong-along” sangat sedikit.

TETAP OPTIMIS MENATAP LAUT

Adakah penghasilan mereka selain melaut atau mencari ikan? Jawabnya tidak ada akan tetapi istri dan anak-anak mereka bertani, bercocoktanam padi atau bersawah dan memelihara hewan ternak seperti ayam dan bebek.

Umumnya mereka tinggal di rumah panggung sederhana terbuat dari papan dengan ukuran rata-rata empat kali delapan meter. Rumah yang umumnya milik sendiri dan dari warisan orangtua itu belum seluruhnya mendapat aliran listrik dari perusahaan listrik negara sehingga ketika malam desa itu belum terang benderang.

Tidak ada penghasilan lain selain melaut mencari ikan dan penghasilan dari mencari ikan juga terus berkurang terutama ketika Covid-19 melanda. Namun, mereka tetap optimis menghadapi kehidupan, tetap bersemangat dan punya harapan besar mampu menghidupi istri dan anak-anaknya, optimis bisa menyekolahkan anak-anaknya minimal tamat sekolah menengah atas.

Bagi mereka menjalani hidup seperti gelombang laut yang tak pernah berhenti, terus bersemangat dan punya harapan besar. “Selagi laut masih terbentang luas dan ikan masih ada, tidaklah takut, Tuhan memberi rejeki buat kita semua,” kata Syawal Pasaribu bersemangat ketika ditanya apakah penghasilan dari melaut dan anak istrinya bertani mampu menghidupi keluarganya.

Ditanya apakah sudah ada mendapat bantuan selama Covid-19, Syawal Pasaribu mengaku tidak kebagian dan balik bertanya, apa ada bantuan dari pemerintah. “Belum ada dapat bantuan tentang Covid,” katanya dan juga teman-temannya sesama nelayan tradisional di desa itu.

Nampaknya, Syawal Pasaribu dan teman-temannya tidak mempermasalahkan ada atau tidak bantuan terdampak Covid-19. Dengan wajah semangat, ia mengaku tetap bekerja keras mencari ikan di laut lepas demi kehidupan keluarganya.@

 Berita ini diikutkan dalam lomba Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2021

 

Bagikan :
Scroll to Top