Selamatkan Danau Toba dari Api, Jangan Biarkan Kebakaran Hutan Menjadi Takdir

Wilmar Eliaser Simandjorang
Wilmar Eliaser Simandjorang

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simanjorang, Dipl.Ec.,M.Si

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mengancam kawasan Danau Toba. Hingga kini, tujuh kabupaten—Toba, Samosir, Simalungun, Humbang Hasundutan, Karo, Dairi, dan Tapanuli Utara—telah menetapkan status siaga darurat. Namun, kobaran api masih terus meluas. Di beberapa titik, api bahkan membakar lahan tanpa kendali.

Danau Toba bukan kawasan biasa. Ia adalah kawasan strategis nasional, destinasi pariwisata super prioritas, dan ekosistem yang menopang kehidupan jutaan warga Sumatera Utara. Namun, semua status itu belum cukup untuk menjaganya dari kerusakan ekologis yang terus terjadi. Bahkan langkah-langkah formal seperti status siaga darurat dan upaya rekayasa cuaca sejauh ini belum menunjukkan dampak signifikan dalam meredam laju kebakaran.

Jika kebijakan hanya menjadi simbol administratif tanpa implementasi yang tanggap, maka kita sedang menyaksikan kelumpuhan sistemik dalam merespons bencana yang seharusnya dapat dicegah.

Pusuk Buhit dan Ancaman Tak Terlihat

Salah satu kawasan yang paling mengkhawatirkan adalah selatan Gunung Pusuk Buhit—wilayah yang memiliki nilai ekologis dan spiritual yang tinggi bagi masyarakat Batak. Kawasan ini belum seluruhnya terbakar. Namun, status “belum” itu bisa segera berubah menjadi “sudah” jika tidak ada perlindungan nyata.

Wilayah hijau lainnya di sekitar Danau Toba pun menghadapi nasib serupa. Tanpa pemetaan risiko dan deteksi dini yang memadai, api dapat menjalar ke titik-titik baru. Ini bukan sekadar krisis lingkungan, tetapi krisis tata kelola.

Kebijakan Harus Berwujud Aksi Nyata

Penanganan kebakaran hutan tidak cukup berhenti pada penetapan status darurat. Penggunaan teknologi modifikasi cuaca pun belum menyentuh akar persoalan jika tidak diiringi penguatan kapasitas di lapangan. Kita membutuhkan langkah-langkah sistematis dan terkoordinasi:

  • Pembentukan satuan tugas khusus yang responsif dan bergerak cepat di titik-titik rawan.
  • Penggunaan drone, citra satelit, dan sensor untuk pemantauan aktif dan deteksi dini.
  • Pembangunan jalur sekat bakar, serta distribusi peralatan dan logistik pemadaman yang memadai.
  • Pelatihan masyarakat lokal untuk pencegahan dini dan pelaporan cepat saat muncul titik api.

Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang terukur—bukan hanya dalam bentuk rapat koordinasi dan konferensi pers—melainkan dalam bentuk kehadiran sumber daya, personel, dan aksi di lapangan.

Penegakan Hukum dan Moral Lingkungan

Kebakaran seringkali dipicu oleh musim kering dan kemarau panjang serta pembukaan dan persiapan musim tanam lahan pertanian. Namun, hingga kini, masih banyak pelaku yang tidak tersentuh hukum. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu, termasuk jika pelakunya adalah korporasi atau oknum yang berlindung di balik kuasa.

Selain itu, tokoh adat dan pemuka agama perlu dilibatkan lebih aktif. Pesan moral bahwa membakar hutan adalah tindakan yang merusak ciptaan Tuhan dan mencederai nilai-nilai kekerabatan harus disuarakan dari mimbar dan podium adat.

Media dan akademisi juga punya peran vital. Media harus terus mengangkat isu ini secara mendalam dan konsisten, sementara kalangan akademik dapat berkontribusi dengan riset, peta risiko, dan solusi berbasis sains.

Warisan Abu atau Warisan Harapan?

Hutan, air, udara bersih, dan bentang alam Danau Toba adalah titipan bagi generasi mendatang. Jika kita terus membiarkan api merajalela, maka yang kita wariskan hanyalah abu, kabut asap, dan krisis ekologis berkepanjangan. Danau Toba tidak boleh menjadi Kawah Asap. Kita masih punya waktu untuk bertindak. Tapi waktunya hampir habis.@

***

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan

 

Scroll to Top