Samosir: Warisan Geologi Dunia yang Harus Dijaga, Bukan Digali

Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si
Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si

Saya menulis ini bukan semata sebagai akademisi atau pengamat, melainkan sebagai putra asli kawasan Danau Toba yang telah menyaksikan langsung perusakan warisan geologi dan budaya yang luar biasa nilainya. Pulau Samosir, permata geologi dunia yang lahir dari letusan supervulkan 74.000 tahun lalu, kini digerus perlahan oleh keserakahan, pembiaran, dan lemahnya pengawasan.

Lapisan-lapisan tanah vulkanik putih—yang oleh masyarakat disebut gumba atau tanoumbula—dikeruk, dijual murah, dan dipindahkan keluar kawasan. Truk-truk lalu-lalang, ekskavator mencabik-cabik lapisan bumi yang merupakan rekam jejak sejarah geologi global. Kerusakan ini bukan hanya menyangkut aspek fisik lingkungan, tetapi juga menghapus identitas bumi dan budaya Batak yang hidup bersamanya.

Laboratorium Geologi Dunia yang Diabaikan

Pulau Samosir adalah bagian dari resurgent dome di tengah Kaldera Toba. Ia terbentuk oleh tekanan magma pasca letusan purba dan menyimpan berbagai lapisan geologi bernilai tinggi secara ilmiah maupun ekonomi, antara lain:

  • Tuf Vulkanik (tuff): endapan abu vulkanik purba berwarna putih keabu-abuan, berguna dalam industri kosmetik, filtrasi, hingga pertanian organik di negara lain.
  • Endapan Lacustrine: menyimpan catatan iklim ribuan tahun lalu.
  • Debris Flow: endapan longsoran vulkanik yang menyuburkan tanah.
  • Kubah Lava Dacitic dan Sag Pond: penanda aktivitas tektonik yang berharga untuk riset dan konservasi.

Namun di Samosir, lapisan-lapisan ini diperlakukan bukan sebagai warisan ilmu pengetahuan, tetapi sebagai material timbunan proyek jalan dan resort tanpa kajian ilmiah dan geoteknikal. Padahal, tuf bukan material struktural yang aman—mudah rapuh, menyerap air, dan rentan longsor.

Kasus Martoba: Bukti Nyata Bukan Sekadar Dugaan

Realita ini telah terkonfirmasi secara terang-benderang di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, yang pada pertengahan Agustus 2025 kembali diwarnai aktivitas galian tanah ilegal. Padahal, kegiatan serupa sudah pernah dihentikan melalui surat resmi dari Camat Simanindo.

Yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada izin dari kepala desa, dan bahkan ahli waris lahan tidak mengetahui aktivitas tersebut. Ramses Silalahi, yang disebut sebagai ahli waris, mengaku kecewa karena pengerukan dilakukan tanpa sepengetahuannya dan tanpa kejelasan pengelolaan material yang diambil.

Untungnya, Polres Samosir telah turun langsung ke lokasi pada 16 Agustus 2025, merespons laporan masyarakat dengan tindakan profesional: memeriksa alat berat, kepala desa, dan pihak terkait. Ini patut diapresiasi.

Namun pertanyaannya, mengapa kegiatan itu bisa berulang kembali meski sudah dilarang secara administratif dan sosial? Jika surat camat sudah keluar, kepala desa menolak, dan pemilik lahan pun tak dilibatkan, apa lagi yang kurang untuk menindak?

Saatnya Penegakan Hukum Dilanjutkan

Kami percaya bahwa langkah awal dari Polres Samosir adalah bagian dari penegakan hukum profesional yang patut dihormati. Namun upaya itu harus dilanjutkan hingga tuntas, sesuai dengan:

  • UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tanpa sanksi tegas dan proses hukum lanjutan, praktik serupa akan terus berulang, mempermalukan komitmen negara dalam melindungi kawasan Toba Caldera yang telah menyandang status UNESCO Global Geopark sejak 2020.

Lebih dari itu, Presiden RI melalui Perpres No. 81 Tahun 2014 telah menetapkan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Apakah wajar jika kawasan yang digadang sebagai destinasi kelas dunia ini justru dikoyak oleh tambang liar?

Seruan untuk Bertindak, Bukan Membiarkan

Kami menyerukan langkah-langkah nyata dan konkret:

  1. Tindak tegas seluruh aktivitas penambangan ilegal di Pulau Samosir—bukan hanya pembinaan.
  2. Lindungi lapisan geologi penting melalui penetapan zona konservasi berbasis kajian geologi.
  3. Sahkan Perda perlindungan warisan geologi dan budaya geologi Batak, agar masyarakat dan pemerintah memiliki pijakan hukum lokal.
  4. Lakukan edukasi menyeluruh kepada masyarakat, pelaku wisata, dan pengembang proyek.
  5. Bangun sistem pengawasan partisipatif dengan melibatkan tokoh adat, akademisi, dan masyarakat lokal.

Samosir: Jendela Sejarah Bumi, Bukan Lahan Tambang

Apa yang dibentuk selama puluhan ribu tahun tidak boleh hilang begitu saja karena pembiaran dan keserakahan dalam sepuluh tahun. Kita bukan sedang menggali tanah biasa—kita sedang menghapus bab penting sejarah geologi dunia jika tak segera bertindak.

Samosir adalah warisan global. Ia milik anak cucu kita, bukan objek eksploitasi jangka pendek. Jika negara ingin tetap dipercaya dalam tata kelola geopark dunia, maka ketegasan hukum, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan harus jadi prioritas—bukan sekadar slogan. “Yang diwariskan leluhur bukan untuk ditambang, tapi dijaga agar tetap bermakna.”@

 ***

Penulis adalah Penggiat Lingkungan Kawasan Danau Toba / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)

Scroll to Top