RUUKIA Harus Perhatikan UU Ketenagakerjaan, Bisa Bermasalah

Dr. Feri Antoni Surbakti, SH, MH
Dr. Feri Antoni Surbakti, SH, MH

Medan | EGINDO.co – Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disahkan dalam rapat paripurna harus memperhatikan Undang Undang (UU) Ketenagakerjaan yang sudah mengatur tentang kewajiban dan hak-hak pekerja.

Hal itu dikatakan seorang pengacara dan dosen Fakultas Hukum, Dr. Feri Antoni Surbakti, SH, MH menjawab pertanyaan EGINDO.co Jum’at (23/9/2022) di Medan tentang disahkannya RUU KIA.

Menurutnya jangan sampai lahirnya UU baru bertentangan dengan UU yang sudah ada sehingga menjadi masalah hukum nantinya. RUU KIA itu bagus karena ingin mengakomodir kesejahteraan ibu dan anak. Penekanannya kepada bagaimana anak Indonesia tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat, termasuk masalah stunting dimana mengatur percepatan perwujudan kesejahteraan keluarga dan menciptakan manusia unggul dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045.

Namun, kata Dr. Feri Antoni Surbakti Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU Inisiatif DPR harus memikirkan tentang wanita atau ibu yang bekerja karena masalah cuti melahirkan sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang hamil mendapatkan jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. “Namun pada beberapa perusahaan diatur cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan, mengingat tidak mudah menghitung dan menentukan HPL (Hari Perkiraan Lahir). Faktanya banyak persalinan yang mendahului atau melewati HPL. Oleh karena itu biasanya perusahaan memberi kebebasan soal kapan cuti hamil akan diambil sepanjang totalnya 3 bulan,” katanya.

Misalnya, kata Fery dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Pekerja tetap berhak atas cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan.

Menurutnya, salah satu hal paling mendasar dalam draft RUU tersebut adalah adanya perubahan pengaturan tentang cuti melahirkan bagi pekerja wanita yang semula 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan berdasarkan pasal 82 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kemudian dalam RUU KIA diubah menjadi paling sedikit 6 bulan, dengan ketentuan 3 bulan pertama.

Katanya menegaskan tidak semudah itu untuk mengubah yang sudah ada pada undang undang ketenagakerjaan sebab akan menjadi masalah, harusnya memperhatikan undang undang yang sudah ada ketika membuat draff RUU yang akan dijadikan undang undang baru.@

Fd/timEGINDO.co

Scroll to Top