Jakarta | EGINDO.co – Pajak karbon akan membuat masyarakat menjadi susah dan ini sudah terjadi pada negara-negara maju karena industrinya biaya tinggi sehingga tidak mampu lagi bersaing dengan China dan negara lain, industry negara negara maju itu akhirnya bangkrut.
Hal ini dikatakan Rusli Tan, pengamat ekonomi sosial kepada EGINDO.co Rabu (25/8/2021) sehubungan dengan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Komisi XI DPR RI membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beleid klausul soal pajak karbon pada Pasal 44G RUU KUP.
Menurut Rusli Tan, dari dulu negara negara Eropah hebat dalam industry tetapi kini tidak bisa produksi, tidak bisa buka lapangan kerja. “Itu kelemahan, poin sebuah negara harus bisa membuka lapangan kerja. Bila bisa membuka lapangan kerja berarti industrinya bisa bersaing, kalau mau bisa bersaing harus biaya produksi murah,” kata Rusli Tan.
Rusli Tan menilai banyaknya beban pajak atau macam macam pajak akan membuat biaya produksi semakin besar. Biaya produksi yang besar akan membuat produksi terganggu atau industry tutup dan akhirnya menimbulkan pengangguran. “Said Iqbal sudah mengatakan kemarin 50.000 sudah kena PHK, belum lagi tenaga kerja yang belum mendapat pekerjaan atau masih menganggur,” kata Rusli Tan memberikan gambaran ancaman pengangguran.
Ditambahkannya, kini saja Indonesia sudah kalah bersaing karena biaya tinggi. Diberikannya contoh produksi farmasi Indonesia masih mahal dibandingkan Malaysia, sepertiga dari Indonesia. Hal itu karena biaya produksi yang tinggi disebabkan pungutan pajak bermacam-macam.
Rusli Tan menilai dengan penerapan pajak karbon akan menjadi sebuah ancaman langsung terhadap daya saing industri. Apa lagi saat ini industri sedang lesu dihantam pandemi Covid-19. Adanya inisiasi pemerintah untuk menerapkan pajak karbon akan semakin membebani para pengusaha. Alhasil daya saing makin melemah.
Kata Rusli Tan, ada 18 Asosiasi yang menolak pungutan pajak karbon, dari 18 Asosiasi itu berarti ada ratusan perusahaan di dalamnya. Hal itu karena akan berdampak langsung kepada kelangsungan ratusan perusahaan. “Penerapan pajak karbon jadi masalah bisa dipastikan kemampuan daya saing terhadap produk impor semakin terpuruk dan dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan tingkat utilisasi produk nasional yang dampaknya langsung pada penurunan penyerapan tenaga kerja. Pastinya pengangguran semakin menakutkan,” katanya menegaskan.@
Fd/TimEGINDO.co