Rusli Tan: Demi Devisa, Pajak Industri Pariwisata Dinolkan

Dr. Rusli Tan, SH, MM
Dr. Rusli Tan, SH, MM

Jakarta | EGINDO.co – Demi pemasukan devisa negara maka pajak industri pariwisata dinolkan saja bukan dinaikkan 40 persen hingga 75 persen yang mana akan membuat industri pariwisata akan anjlok dan bila anjlok maka devisa negara akan berkurang dari sektor pariwisata. Hal itu dikatakan pengamat sosial, ekonomi kemasyarakatan Dr. Rusli Tan, SH, MM kepada EGINDO.co Minggu (21/1/2024) di Jakarta menanggapi tentang penerapan tarif pajak hiburan khusus sebesar 40% yang berdampak kepada sektor pariwisata.

“Demi pemasukan devisa negara maka pajak industri pariwisata dinolkan saja bukan dinaikkan sampai 40 persen. Alasannya karena industri pariwisata membuka banyak sekali lapangan kerja dan bila lapangan kerja terbuka akan membuat devisa negara bertambah,” kata Rusli Tan menegaskan.

Diberikannya contoh dengan adanya hotel sebagai tempat menginap para wisatawan akan membuka banyak pekerjaan, mulai dari laundry hingga kuliner. Tidak saja laundry dan kuliner akan tetapi juga jasa transportasi dan industri kerajinan akan berkembang. “Untuk itu tepat pajak industri pariwisata dinolkan saja sehingga memacu majunya parisata dan bila sudah maju maka devisa negara akan masuk,” kata Rusli Tan.

Baca Juga :  Rusli Tan: Kemacetan Jakarta, Kendaraan Umum Tidak Memadai

Menurutnya, sebaliknya bila pajak industri parawisata atau hiburan dinaikkan hampai 40 persen akan membuat aktivitas pariwisata berkurang karena otomatis harga-harga menjadi naik seperti harga kuliner dan lainnya. Naiknya harga-harga sektor pariwisata akan mengurangi minat masyarakat atau wisatawan akan berwisata, kalah bersaing dengan negara lain dalam hal harga seperti harga kuliner.

“Kini harga kuliner di Indonesia jauh lebih mahal dengan harga kuliner di luar negeri seperti Jepang, makan mie di Jepang lebih murah dari di Indonesia dimana dahulunya harga kuliner Indonesia lebih murah dari harga kuliner di luar negeri akibat dari nilai mata uang. Namun, kini akan lebih mahal lagi dengan adanya pajak yang tinggi,” kata Rusli Tan memberikan perbandingan harga kuliner di Indonesia dengan di Jepang.

Baca Juga :  Presiden Sampaikan Belasungkawa, Meninggalnya Buya Syafii

Diberi contoh, untuk makan siang kini bisa Rp70.000,- saja dengan nilai uang Indonesia yang lebih rendah atau lemah akan tetapi masih bisa Rp70.000,- bila di Indonesia untuk makan mie saja di kawasan Muara Karang, Jakarta Utara bisa Rp50.000,- lebih sedangkan di Jepang makan mie bisa Rp40.000,- saja sehingga hal itu perlu mendapat perhatian.

Katanya harga kuliner di Indonesia harus lebih murah dari harga kuliner di luar negeri karena Indonesia “rajanya” kuliner dengan tidak membuat pajak yang begitu tinggi sehingga harga dapat bersaing dengan harga kuliner di luar negeri sehingga wisatawan banyak berkunjung ke Indonesia. Bila kunjungan wisatawan banyak maka pemasukan devisa semakin banyak diperoleh negara.

Baca Juga :  Rusli Tan: Beresiko Belajar Tatap Muka 100% Di Jakarta

Harus diakui kata Rusli Tan, satu-satunya sektor untuk kemasukkan devisa negara sebanyak-banyaknya dari pariwisata sebab industri pariwisata memiliki varian yang sangat banyak, mulai dari kunjungan, hotel dan kuliner. Khusus untuk kuliner yang mana dimana-mana ada dengan munculnya kuliner dari berbagai menu nusantara yang ada di Indonesia.

Ditegaskannya kurang bijak kalau hanya pandai menaikkan pajak tanpa melihat dampak yang ditimbulkannya. “Pengambil kebijakan harus bijak, jangan hanya pandai menaikkan pajak saja tapi harus memikirkan dampaknya. Harus dikaji mana yang terbaik, tentunya dengan pemasukan devisa bagi negara akan lebih baik karena membuat roda perekonomian berputar dan membuka banyak lapangan kerja,” katanya menegaskan.@

Fd/timEGINDO.co

Bagikan :
Scroll to Top