Rusli Tan: Bukan Cukai Rokok Dinaikkan, Tapi Cara Jualnya

rusli
Dr. Rusli Tan, SH, MM

Jakarta | EGINDO.co – Bukan cukai rokok yang dinaikkan, akan tetapi cara menjual rokok yang perlu dipertegas sehingga apa yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani sewaktu mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok untuk 2022 sebesar rata-rata 12 persen yang sudah disetujui Jokowi itu untuk menghindari, menahan agar anak-anak berusia 12 tahun ke atas tidak merokok dapat terwujud.

Hal itu dikatakan Dr. Rusli Tan, SH, MM seorang pemerhati masalah sosial ekonomi masyarakatan kepada EGINDO.co Sabtu (18/12/2021) di Jakarta bahwa dengan menaikkan cukai rokok yang sangat besar tidak akan terwujud anak-anak tidak merokok.

Rusli Tan menyayangkan bila cukai rokok yang dinaikkan, bukan cara menjual rokok yang diatur sehingga anak-anak tidak membeli rokok. “Cara menjual rokok yang penting diatur bila memang ingin anak-anak tidak merokok, bukan menaikkan cukai rokok. Lain halnya jika pemerintah ingin mendapatkan devisa besar dari rokok,” kata Rusli Tan menegaskan.

Baca Juga :  Rusli Tan: Apa Apa Harga Mahal, Jangan Salahkan Pedagang

Apa yang diinginkan dengan menaikkan cukai rokok tidak efektif kalau ingin anak-anak tidak merokok. “Dari dahulu hingga kini rokok dijual dalam bentuk “ketengan” sehingga memudahkan anak-anak berumur 12 tahun atau 18 tahun ke bawah gampang membelinya sebab uang jajan anak-anak itu bisa membeli rokok,” kata Rusli Tan lagi.

Menurutnya, andaikata rokok hanya boleh dijual dalam bentuk slop dan harus membeli per slop maka dimungkinkan dapat menahan anak-anak tidak mampu membelinya sebab tidak cukup uang jajannya lagi membeli rokok sehingga anak-anak itu tidak merokok.

Hal ini mengapa tidak dilakukan dan bila cukai rokok dinaikkan membuat harga rokok per bungkus menjadi mahal akan tetapi bila dibeli dalam bentuk batangan, per batang maka tidak akan berpengaruh dengan cukai rokok yang dinaikkan.

Baca Juga :  Rusli Tan: Tidak Menjamin Barang Impor China Bisa Ditekan dengan Bea Masuk 200 persen

Artinya cukai rokok dinaikkan, tidak akan membuat anak-anak tidak merokok lagi sebab anak-anak itu membeli per batang. “Umumnya pembeli rokok itu per batang, per setengah bungkus dan per bungkus,” kata Rusli Tan menjelaskan.

Dari dahulu juga begitu, umumnya orang membeli rokok “ketengan” atau eceran, tidak harus per bungkus akan tetapi membeli rokok per batang atau dua tiga batang dengan demikian harga rokok naik disebabkan cukai rokok dinaikkan tidak begitu berpengaruh dan tetap bisa merokok yang akhirnya tidak akan mengurangi orang merokok.

Bila memang tujuannya untuk mengurangi orang merokok dan membuat anak-anak tidak merokok maka baiknya penjualan rokok harus per selop sehingga akan mengurangi orang merokok sebab pembeli rokok menjadi terbatas.

Rusli Tan mempertanyakan apa sebenarnya tujuan dari menaikkan cukai rokok. Apakah untuk menahan agar anak-anak tidak merokok, atau mengurangi masyarakat Indonesia merokok atau bukan untuk itu cukai rokok dinaikkan.

Baca Juga :  Rusli Tan: Belajar Tatap Muka Tidak Efektif Dan Bahaya

Bila dilihat dari kondisi yang ada, kini impor tembakau sangat besar hampir 40 sampai 50 persen. Kalau sampai 60 persen atau 70 persen impor tembakau itu berbahaya sebab akan sulit mengendalikannya, harus Indonesia mengekspor tembakau sebagaimana dulunya Tembakau Deli dari Medan, Sumatera Utara sangat terkenal di luar negeri, terutama di Jerman.

Kini terbalik keadaannya, tembakau impor yang banyak masuk ke Indonesia. “Harus tidak demikian, Indonesia harus menanam tembakau dalam jumlah besar sehingga menguasai ekspor tembakau dunia dan tembakau Indonesia sulit disaingi bangsa lain,” katanya.

Ditegaskannya, kalau mau melarang, menahan anak-anak tidak merokok dan mengurangi orang merokok maka tatacara menjual rokok yang harus diatur, bukan menaikkan cukai rokok sebab tidak efektif untuk mencapai tujuan yang dimaksud.@

Fd/TimEGINDO.co

 

Bagikan :
Scroll to Top