Rupiah Tertekan Usai Libur Lebaran, Diprediksi Melemah ke Rp17.050 per Dolar AS Hari Ini

Pegawai tempat penukaran valas sedang menghitung lembaran uang dolar AS di antara lembaran uang rupiah
Pegawai tempat penukaran valas sedang menghitung lembaran uang dolar AS di antara lembaran uang rupiah

Jakarta|EGINDO.co  Nilai tukar rupiah diperkirakan akan mengalami pelemahan tajam hingga menyentuh level Rp17.050 per dolar AS pada pembukaan perdagangan hari ini, Selasa (8/4/2025), setelah pasar domestik kembali aktif usai libur panjang Hari Raya Idulfitri 1446 H. Tekanan terhadap rupiah terutama disebabkan oleh sentimen global, termasuk kebijakan tarif impor terbaru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp17.000 per dolar AS sebagai respons terhadap penerapan tarif impor oleh pemerintah AS terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia.

Berdasarkan catatan Bloomberg, sebelum libur Lebaran dimulai, rupiah ditutup pada level Rp16.562 per dolar AS pada 27 Maret 2025. Sepanjang kuartal I 2025, mata uang Garuda mengalami depresiasi sebesar 2,25%, dengan titik terlemah tercatat pada 25 Maret 2025 di level Rp16.612 per dolar AS.

Pada perdagangan Senin (7/4/2025), saat pasar dalam negeri masih libur, nilai tukar rupiah di pasar luar negeri kembali tertekan sebesar 288 poin (1,73%), berada di level Rp16.940,5 per dolar AS.

Menanggapi tekanan yang terjadi di pasar, Bank Indonesia (BI) menyatakan telah melakukan intervensi di pasar NDF secara berkesinambungan pada Senin (7/4/2025) dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar. Intervensi dilakukan di berbagai wilayah pasar internasional, termasuk Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.

“Bank Indonesia juga akan melanjutkan langkah stabilisasi melalui intervensi di pasar spot dan Domestic NDF (DNDF), serta melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder,” ujar Ramdan Denny Prakoso, Kepala Departemen Komunikasi BI.

Selain itu, BI juga berkomitmen untuk mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah guna menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan sektor perbankan dalam negeri.

Penguatan dolar AS turut memperparah tekanan terhadap rupiah. Hal ini dipicu oleh data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang lebih baik dari perkiraan serta pernyataan dari bank sentral AS (The Fed) bahwa saat ini belum saatnya menurunkan suku bunga acuan. The Fed juga menyatakan bahwa kebijakan moneter akan tetap ketat hingga ada kejelasan lebih lanjut mengenai arah inflasi dan dampak dari ketegangan perdagangan global.

Kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Trump, yang mencakup tarif umum sebesar 10% dan tarif khusus hingga 32% untuk Indonesia, telah memperburuk sentimen pasar negara berkembang. Tidak hanya Indonesia, sejumlah mata uang Asia juga mengalami pelemahan, seperti baht Thailand yang melemah 0,71%, dolar Taiwan turun 0,30%, dan yuan China melemah 0,37%. Di sisi lain, yen Jepang tercatat menguat sebesar 0,90%.

Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menyampaikan bahwa tekanan terhadap rupiah tidak hanya berasal dari kebijakan dagang AS, namun juga dipengaruhi oleh situasi geopolitik global, terutama di kawasan Timur Tengah dan Eropa. Ia memperkirakan intervensi BI kemungkinan hanya akan memberikan dampak terbatas dalam jangka pendek.

“Nilai tukar rupiah sangat mungkin melemah hingga menyentuh Rp17.050 per dolar AS saat perdagangan kembali dibuka,” ujarnya.

Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum mengumumkan langkah balasan terhadap kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.

Sumber: Bisnis.com/Sn

Bagikan :
Scroll to Top