Rupiah Menguat ke Rp16.353 per Dolar AS, Tantangan Ekonomi Indonesia Masih Berlanjut

Uang rupiah diantara uang dolar AS
Uang rupiah diantara uang dolar AS

Jakarta|EGINDO.co  Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Rabu (12/2/2025). Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka naik 0,18% atau 30 poin ke posisi Rp16.353 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar tercatat meningkat 0,09% ke level 107,880.

Pergerakan mata uang Asia terhadap dolar AS bervariasi. Beberapa mata uang yang menguat antara lain won Korea (0,07%), rupee India (0,74%), baht Thailand (0,07%), ringgit Malaysia (0,07%), dan dolar Taiwan (0,02%). Sementara itu, mata uang yang mengalami pelemahan mencakup dolar Singapura (-0,03%), peso Filipina (-0,01%), yen Jepang (-0,63%), dolar Hong Kong (-0,01%), serta yuan China (-0,01%).

Pengamat forex, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi pergerakan pasar adalah kebijakan perdagangan AS. Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan penerapan tarif baru sebesar 25% untuk impor baja dan aluminium, yang memicu kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan perdagangan global. Selain itu, kebijakan balasan dari China terhadap produk AS semakin memperlemah sentimen pasar.

Dari sisi ekonomi China, laporan inflasi Januari menunjukkan kenaikan indeks harga konsumen (IHK) yang moderat, sementara indeks harga produsen (PPI) terus mengalami penurunan. Kondisi ini mencerminkan berlanjutnya pelemahan belanja rumah tangga dan aktivitas industri di negara tersebut. Menurut Ibrahim, inflasi yang lemah dapat mendorong pemerintah China untuk mengeluarkan stimulus tambahan, seperti pemangkasan suku bunga atau peningkatan belanja infrastruktur, guna menopang perekonomian.

Di dalam negeri, Ibrahim menyoroti sejumlah tantangan struktural yang dihadapi Indonesia, terutama menurunnya daya beli masyarakat serta pelemahan sektor industri manufaktur. Ia menilai pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 5,2% pada tahun 2025.

“Terdapat indikasi deindustrialisasi dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena sektor manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja terbesar,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa apabila sektor manufaktur terus melemah, maka masyarakat akan semakin bergantung pada pekerjaan di sektor informal. Kondisi ini dapat menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam jangka menengah hingga panjang.

Sumber: Bisnis.com/Sn

Scroll to Top