Jakarta|EGINDO.co Nilai tukar rupiah dibuka melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa, 6 Mei 2025. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka turun sebesar 0,17% atau 28,5 poin ke posisi Rp16.483 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS tercatat menguat tipis sebesar 0,05% ke level 99,690.
Sejumlah mata uang di kawasan Asia juga mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Yen Jepang tercatat melemah 0,15%, dolar Taiwan turun 0,29%, baht Thailand melemah 0,11%, dan won Korea Selatan merosot 0,89%. Dolar Singapura melemah 0,40%, ringgit Malaysia turun 0,83%, dolar Hong Kong terkoreksi 0,01%, dan peso Filipina melemah 0,12%. Sebaliknya, rupee India menguat 0,34% dan yuan China menguat 0,47%.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan pergerakan rupiah pada hari ini akan berlangsung fluktuatif namun cenderung ditutup melemah dalam rentang Rp16.440 hingga Rp16.500 per dolar AS. Adapun pada penutupan perdagangan sebelumnya, Senin (5/5/2025), rupiah ditutup melemah sebesar 17 poin ke posisi Rp16.455, setelah sempat menguat 40 poin ke level Rp16.437.
Ibrahim menjelaskan bahwa pelemahan rupiah antara lain dipicu oleh ketidakpastian kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Presiden AS, Donald Trump, menyatakan belum memiliki rencana untuk membuka dialog dengan Presiden China, Xi Jinping, terkait perdagangan. Trump juga mengisyaratkan bahwa pemerintah AS tengah mempersiapkan penandatanganan perjanjian dagang dengan sejumlah negara lain. Menurut Ibrahim, ketidakpastian mengenai hubungan dagang AS-China masih menjadi faktor risiko utama bagi pasar global, mengingat sejarah konflik dagang dan saling balas tarif antara kedua negara.
Di sisi lain, ketegangan geopolitik turut menambah tekanan terhadap pasar keuangan, khususnya setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyampaikan ancaman untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap Iran.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2025 melambat menjadi 4,87% secara tahunan (year-on-year/yoy), serta mengalami kontraksi 0,89% secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq). Meski demikian, BPS terus memantau perkembangan ekonomi triwulan selanjutnya dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti belanja pemerintah, tren konsumsi domestik, harga komoditas, serta kondisi perdagangan global.
Ibrahim menambahkan bahwa konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 4,89% masih menjadi penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, pertumbuhan ini dinilai belum cukup kuat untuk menahan tekanan dari sektor-sektor lain yang mengalami kontraksi, terutama di tengah ketidakpastian global serta dampak kebijakan fiskal yang cenderung musiman.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa prospek ekonomi Indonesia pada kuartal mendatang akan sangat bergantung pada kecepatan pemerintah dalam merealisasikan anggaran belanja, menjaga stabilitas harga barang kebutuhan pokok, serta mendorong ekspor di tengah dinamika perang dagang global.
Sumber: Bisnis.com/Sn