Rupiah Melemah di Akhir Pekan, Tertekan Sentimen Fiskal dan Tarif Dagang AS

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co  Nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (4/7/2025), dipicu oleh ketidakpastian global terkait kebijakan fiskal AS serta potensi ketegangan dagang baru. Mengutip data Bloomberg, rupiah dibuka pada posisi Rp16.223 per dolar AS atau turun 0,17% dibandingkan hari sebelumnya.

Pelemahan rupiah terjadi saat pergerakan mata uang utama di kawasan Asia menunjukkan arah yang beragam. Yen Jepang tercatat menguat 0,14%, dolar Hong Kong naik tipis 0,01%, sedangkan dolar Singapura dan dolar Taiwan masing-masing menguat 0,02% dan 0,03%. Sebaliknya, won Korea Selatan melemah 0,03%, peso Filipina turun tajam 0,47%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,32%, dan baht Thailand merosot 0,09%.

Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, juga tercatat turun tipis 0,11% menjadi 97,07.

Menurut laporan Reuters, penguatan dolar AS dalam beberapa hari terakhir didorong oleh lolosnya rancangan undang-undang besar yang diusung Presiden Donald Trump. Undang-undang tersebut mencakup pemotongan pajak secara signifikan dan peningkatan pengeluaran fiskal, yang diproyeksikan akan menambah beban utang pemerintah sebesar USD 3,4 triliun, menjadikan total utang negara tersebut menyentuh USD 36,2 triliun.

Trump menyebut paket kebijakan fiskalnya sebagai “One, Big, Beautiful Bill”, dan menegaskan bahwa negara-negara mitra dagang AS seperti Jepang harus segera menyelesaikan perjanjian perdagangan bilateral. Bila tidak, mereka akan dikenakan tarif tinggi mulai 9 Juli mendatang. Ia bahkan menyatakan akan mengirimkan pemberitahuan resmi kepada negara-negara tersebut mulai hari ini.

Analis pasar keuangan dari Capital.com, Kyle Rodda, menyatakan bahwa kondisi fiskal AS yang agresif dan ancaman kebijakan tarif baru menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas obligasi pemerintah dan kesehatan jangka panjang fiskal negara tersebut. Namun, pelaku pasar saat ini lebih fokus pada data ketenagakerjaan AS yang cukup solid.

Laporan dari Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan pertambahan lapangan kerja di sektor nonpertanian (nonfarm payrolls) sebanyak 147.000 pekerjaan pada Juni 2025, jauh melebihi konsensus analis yang hanya memperkirakan 110.000 pekerjaan. Data ini memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga acuannya pada pertemuan kebijakan moneter bulan ini.

Berdasarkan pantauan CME FedWatch Tool, peluang The Fed mempertahankan suku bunga di level saat ini naik signifikan menjadi 95,3%, dari 76,2% pada pekan lalu. Sejumlah ekonom pun memperkirakan bahwa langkah penurunan suku bunga mungkin baru akan terjadi pada September, atau bahkan lebih lambat, apabila tekanan inflasi dan pasar tenaga kerja tetap kuat.

Di pasar mata uang internasional, dolar AS sempat terkoreksi terhadap sejumlah mata uang utama. Dolar melemah 0,2% terhadap yen Jepang di level 144,69, sementara euro dan poundsterling masing-masing menguat 0,1% ke USD 1,1769 dan USD 1,3668. Dolar Australia juga menunjukkan penguatan tipis ke USD 0,6577.

Sumber tambahan dari CNBC Indonesia dan Investing.com juga menunjukkan bahwa tekanan eksternal masih menjadi faktor utama pergerakan rupiah dalam jangka pendek. Ketidakpastian arah kebijakan ekonomi AS, kombinasi antara stimulus fiskal agresif dan ketegangan dagang, akan terus membayangi pasar negara berkembang termasuk Indonesia.

Bank Indonesia (BI) dalam beberapa pernyataan sebelumnya menegaskan akan tetap berada di pasar guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, termasuk melalui intervensi di pasar spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), serta pembelian obligasi di pasar sekunder.

Sumber: Bisnis.com/Sn

Scroll to Top