Rupiah Dibuka Menguat ke Rp15.857,5 per Dolar AS

Lembaran uang rupiah di antara uang dolar AS di sebuah tempat penukaran valas.
Lembaran uang rupiah di antara uang dolar AS di sebuah tempat penukaran valas.

Jakarta|EGINDO.co Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengawali perdagangan hari ini, Jumat (6/12/2024), dengan menguat tipis sebesar 0,03% atau 4,5 poin ke level Rp15.857,5 per dolar AS. Data Bloomberg mencatat bahwa penguatan ini terjadi di tengah kenaikan indeks dolar sebesar 0,14% ke posisi 105,86.

Di kawasan Asia, pergerakan mata uang menunjukkan variasi. Beberapa mata uang mencatat penguatan, seperti yen Jepang (+0,08%), peso Filipina (+0,15%), dan rupee India (+0,01%). Namun, sejumlah mata uang lain justru melemah, seperti dolar Singapura (-0,1%), dolar Taiwan (-0,06%), won Korea Selatan (-0,49%), dan yuan China (-0,1%).

Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, pergerakan rupiah hari ini diperkirakan akan fluktuatif tetapi tetap berpotensi ditutup menguat di kisaran Rp15.850 hingga Rp15.910 per dolar AS. Beberapa faktor eksternal menjadi pendorong utama penguatan ini.

Baca Juga :  Saham Asia Menguat ; Saham Berjangka AS Tergelincir

Dari sisi global, pasar merespons positif pidato Ketua Federal Reserve AS, Jerome Powell, yang menegaskan kekuatan ekonomi AS dan memberikan sinyal kehati-hatian terhadap pelonggaran kebijakan moneter di masa mendatang. Meskipun ada harapan penurunan suku bunga pada Desember 2024, Powell menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi ekonomi secara matang. Selain itu, investor juga terus mencermati risiko geopolitik, termasuk kebijakan tarif perdagangan yang mungkin diterapkan di bawah pemerintahan Presiden AS terpilih, Donald Trump. Data ketenagakerjaan nonpertanian AS menjadi fokus utama pasar untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai arah kebijakan The Fed.

Dari dalam negeri, isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi perhatian. Kenaikan tarif menjadi 12% yang dijadwalkan pada 2025 telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021. Namun, sejumlah ekonom menilai bahwa kebijakan tersebut kurang mendesak untuk diterapkan saat ini, mengingat daya beli masyarakat yang masih tertekan. Kenaikan PPN sebelumnya, dari 10% menjadi 11% pada 2022, dilakukan untuk menambah penerimaan negara guna menutup defisit fiskal yang saat itu diperbolehkan melebihi 3%. Dalam kondisi ekonomi saat ini, urgensi untuk menaikkan PPN lebih lanjut dianggap belum relevan.

Baca Juga :  IHSG Menguat, Ditopang Perpanjangan PPKM Hingga 16 Agustus

Sumber: Bisnis.com/Sn

 

Bagikan :
Scroll to Top