Jakarta|EGINDO.co Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada perdagangan Rabu pagi (16 April 2025), menurun sebesar 0,03 persen ke posisi Rp16.831 per dolar AS. Pelemahan ini terjadi bersamaan dengan pergerakan serupa sejumlah mata uang Asia lainnya.
Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 09.02 WIB, rupiah dibuka pada level Rp16.831 per dolar AS, melemah tipis 0,03 persen. Sementara itu, indeks dolar AS tercatat mengalami penurunan sebesar 0,35 persen ke angka 99,86.
Adapun mata uang Asia menunjukkan pergerakan yang beragam. Yen Jepang tercatat menguat sebesar 0,35 persen, dolar Singapura menguat 0,23 persen, dan peso Filipina menguat 0,39 persen. Rupee India juga menguat 0,32 persen, sedangkan baht Thailand mencatatkan penguatan tertinggi yakni 0,61 persen. Selain itu, dolar Hong Kong dan won Korea Selatan masing-masing menguat 0,01 persen dan 0,07 persen.
Sementara itu, beberapa mata uang lain terpantau mengalami pelemahan, seperti dolar Taiwan yang turun 0,01 persen, yuan Tiongkok melemah 0,09 persen, dan ringgit Malaysia menurun 0,09 persen terhadap dolar AS.
Mengutip laporan Reuters, dolar AS masih mempertahankan sebagian penguatannya setelah beberapa pekan mengalami tekanan jual yang signifikan. Para pelaku pasar saat ini cenderung menahan diri sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari negosiasi dagang Amerika Serikat, serta menantikan data ekonomi penting yang akan dirilis.
Fokus perhatian investor tertuju pada rilis data ekonomi kuartal I-2025 dari Tiongkok, pernyataan Ketua Federal Reserve Jerome Powell, serta sejumlah data ekonomi lainnya yang dijadwalkan pada hari ini.
Di sisi lain, pasar obligasi Amerika Serikat yang sempat mengalami gejolak pekan lalu, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kestabilan. Hal ini menjadi sorotan karena adanya kemungkinan korelasi antara tingkat imbal hasil (yield) obligasi dan pergerakan nilai tukar dolar AS kembali terbentuk.
Steve Englander, Kepala Riset Valas G10 di Standard Chartered, menyatakan bahwa kembalinya hubungan antara imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dengan penguatan dolar AS dapat menjadi indikator penting dari normalisasi pasar.
Englander juga menambahkan bahwa menurunnya kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global serta berkurangnya dampak kebijakan tarif perdagangan dapat memberikan dukungan tambahan bagi penguatan dolar AS dalam waktu dekat.
Sumber: Bisnis.com/Sn