Jakarta|EGINDO.co Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan berbagai langkah antisipatif guna merespons potensi dampak dari memanasnya konflik antara Iran dan Israel terhadap jalur logistik yang berdampak pada kegiatan ekspor dan impor nasional.
Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan jajarannya untuk segera melakukan simulasi dampak dan koordinasi lintas sektor di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tujuannya adalah memitigasi risiko gangguan logistik, khususnya terhadap pasokan bahan baku impor dan jalur ekspor yang melewati kawasan Timur Tengah.
“Bapak Presiden telah meminta agar dilakukan simulasi, terutama terhadap bahan baku impor yang jalur logistiknya melewati wilayah konflik, termasuk dampaknya terhadap ekspor kita,” ujar Faisol usai menghadiri acara peluncuran Dräger Indonesia, Kamis (19/6/2025).
Faisol mengakui bahwa konflik bersenjata di kawasan tersebut berpotensi mengganggu rantai pasok industri di dalam negeri. Meski demikian, ia berharap dampaknya tidak terlalu besar terhadap aktivitas produksi nasional. Ia menyoroti ancaman dari Iran yang berencana menutup beberapa jalur logistik strategis sebagai faktor yang patut diwaspadai.
“Harapan kita tentu tidak terlalu mempengaruhi logistik secara signifikan, meskipun kemungkinannya besar akan ada dampak. Apalagi jika Iran benar-benar menutup akses logistik mereka,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah menyoroti dampak dari meningkatnya ketegangan geopolitik global terhadap sektor ekonomi, khususnya industri manufaktur. Ia menyebut bahwa gangguan stabilitas keamanan internasional turut mendorong perlambatan perdagangan global, lonjakan inflasi, fluktuasi nilai tukar, serta tingginya suku bunga acuan di berbagai negara.
“Konflik geopolitik yang semakin kompleks dan rentan telah memberikan tekanan terhadap aktivitas ekspor-impor serta memperlambat kinerja sektor manufaktur,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa (17/6/2025).
Ia merujuk pada data Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur global pada Mei 2025 yang tercatat di angka 49,6—di bawah ambang batas netral sebesar 50—menandakan terjadinya kontraksi. Sebanyak 70,8% negara di dunia, termasuk Indonesia, China, Jepang, Vietnam, Eropa, dan Inggris mengalami penurunan aktivitas manufaktur. Sementara itu, 29,2% negara seperti Amerika Serikat, India, Arab Saudi, Rusia, dan Australia masih mencatatkan ekspansi sektor manufaktur.
Sumber: Bisnis.com/Sn