Reformasi Hukum di Persimpangan: KUHAP Baru Dinilai Hadirkan Kemajuan Namun Tinggalkan Celah Abusif

Faedonajokho Sarumaha, S.H.,M.H.,CLA.,CTL,
(Praktisi Hukum)
Faedonajokho Sarumaha, S.H.,M.H.,CLA.,CTL, (Praktisi Hukum)

Di tulis oleh : Faedonajokho Sarumaha, S.H.,M.H.,CLA.,CTL, (Praktisi Hukum)

Jakarta|EGINDO.co Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru sebagai langkah maju dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia, Regulasi ini membawa beberpa terobosan penting, seperti penguatan hakim pemeriksa pendahuluan (HPP), pengaturan alat bukti elektronik, hingga digitalisasi proses penyidikan dan persidangan,  hadirnya regulasi ini sebagai langkah maju menuju modernisasi penegakan hukum. Namun, di sisi lain, juga perlu diwaspadi  ruang-ruang yang berpotensi disalahgunakan, khususnya terkait perluasan kewenangan penyidik masih menyisakan pertanyaan yang perlu dijawab demi meamastikan reformasi sistem peradilan pidana ini benar-benar melindungi hak warga negara.

Dari perspektif akademisi hukum pidana, pembaruan KUHAP menawarkan penyempurnaan prosedural, seperti penguatan asas due process of law dan penataan ulang struktur penanganan perkara. Sejumlah pasal dinilai lebih responsif terhadap kebutuhan transparansi dan akuntabilitas di era digital. Mekanisme pengawasan internal lembaga penegak hukum juga disebut mengalami perbaikan dibanding regulasi sebelumnya.

Namun, sudut pandang praktisi hukum di lapangan mengingatkan bahwa penguatan aturan tidak otomatis menutup peluang terjadinya tindakan koersif. Perluasan kewenangan penyidik dalam penangkapan, penggeledahan, atau penyitaan tetap memerlukan kontrol ketat agar tidak berpotensi melanggar hak asasi warga negara, celah interpretasi yang terlalu longgar dapat membuka peluang penyalahgunaan, terutama dalam penanganan perkara yang bersifat sensitif atau berisiko tinggi.

Reformasi hukum saat ini berada di “persimpangan”: di satu sisi membawa harapan peningkatan efisiensi dan kepastian hukum, namun di sisi lain menuntut kewaspadaan terhadap kemungkinan praksis abusif. Oleh karena itu, implementasi KUHAP baru dinilai harus dibarengi konsistensi pengawasan, pelatihan aparat penegak hukum, serta partisipasi publik dalam memantau proses peradilan.

Pada akhirnya, keberhasilan KUHAP baru tidak hanya ditentukan oleh kualitas rumusan normanya, tetapi juga oleh integritas dan akuntabilitas para pelaksana hukum. Reformasi ini dapat menjadi momentum besar menuju sistem peradilan yang lebih adil, selama potensi penyimpangan diawasi dengan tegas dan berkesinambungan. (Sn)

Scroll to Top