Proyek Hidrogen Raksasa ExxonMobil di Texas Terancam Gagal Akibat Pemangkasan Insentif Pajak oleh Pemerintahan Trump

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co Rencana ambisius ExxonMobil untuk membangun fasilitas hidrogen rendah karbon terbesar di dunia di Baytown, Texas, menghadapi risiko tertunda atau bahkan batal. Hal ini dipicu oleh kebijakan baru pemerintahan Presiden Donald Trump yang memangkas masa berlaku insentif pajak 45V, sebuah insentif penting untuk proyek energi bersih.

Chief Executive Officer ExxonMobil, Darren Woods, menuturkan bahwa tanpa adanya kejelasan terkait prospek ekonomi proyek tersebut, pihaknya tidak akan melanjutkan investasi. “Kami tidak akan mengambil keputusan akhir jika tidak ada kepastian bahwa proyek ini akan memberikan keuntungan bagi para pemegang saham,” ujarnya, dikutip dari Bloomberg (Senin, 4 Agustus 2025).

Proyek Baytown dirancang untuk memproduksi sekitar 1 miliar kaki kubik hidrogen per hari dan 1 juta ton amonia per tahun, dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) yang mampu menangkap hingga 98% emisi karbon yang dihasilkan. Fasilitas ini diharapkan menjadi pilar transisi energi bersih di sektor industri berat.

Namun, perubahan dalam rancangan undang-undang pajak yang diajukan pemerintahan Trump kini membatasi periode klaim insentif pajak 45V dari semula hingga 2033 menjadi hanya sampai 2028. Kebijakan ini dinilai mempersempit ruang investasi bagi pelaku industri energi bersih.

Investor Global dan Perusahaan Teknologi Ragu-Ragu

Meskipun proyek ini telah menarik komitmen dari perusahaan internasional seperti Abu Dhabi National Oil Co. (ADNOC), yang mengambil 35% saham, serta JERA Co. dari Jepang yang menandatangani nota kesepahaman untuk membeli setengah produksi amonia, ketidakpastian kebijakan membuat langkah maju menjadi sulit.

Menurut Woods, salah satu hambatan terbesar adalah harga hidrogen yang masih dianggap terlalu tinggi oleh calon pembeli. Hal ini membuat Exxon enggan melakukan Final Investment Decision (FID) sebelum ada kontrak jangka panjang yang menjamin stabilitas pendapatan.

Kondisi pasar yang belum mendukung juga berdampak pada rencana lain perusahaan, termasuk penyediaan gas rendah emisi untuk pusat data berbasis kecerdasan buatan (AI). Woods menambahkan bahwa perusahaan teknologi kini lebih berorientasi pada keandalan pasokan energi daripada kandungan karbonnya.

Di sektor litium, Exxon juga menemui tantangan. Perusahaan sebelumnya menargetkan produksi litium dimulai pada 2027, namun anjloknya harga global hingga 90% sejak 2022 membuat Exxon harus meninjau ulang kelayakan biaya. “Kami mungkin perlu waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk menurunkan biaya produksi,” ujar Woods.

Konteks Lebih Luas: Industri Energi Bersih Hadapi Tekanan di AS

Sebagaimana dilaporkan Reuters pada 31 Juli 2025, pemangkasan insentif pajak oleh pemerintahan Trump menuai reaksi keras dari para pelaku industri energi bersih. Mereka menilai kebijakan ini melemahkan posisi Amerika Serikat dalam persaingan teknologi hijau global, serta menghambat target pengurangan emisi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sementara itu, The Wall Street Journal menyebut bahwa beberapa perusahaan energi, termasuk Chevron dan Shell, tengah meninjau ulang proyek dekarbonisasi mereka akibat perubahan regulasi tersebut. Banyak pihak menilai bahwa kepastian hukum dan insentif jangka panjang sangat penting untuk mendukung keberhasilan transisi energi.

Komitmen Tetap, Namun dengan Sikap Waspada

Meski dihantui berbagai tantangan, ExxonMobil menyatakan tetap berkomitmen untuk mengalokasikan investasi sebesar US$30 miliar pada proyek-proyek rendah karbon hingga tahun 2030. Woods menekankan bahwa posisi strategis di sektor energi bersih masih menjadi prioritas jangka panjang bagi perusahaan.

“Saya percaya ada nilai ekonomi yang nyata dalam sektor rendah karbon, namun kita tidak boleh menganggap bahwa transisi ini akan berjalan mulus,” tuturnya.

Sumber: Bisnis.com/Sn

Scroll to Top