Produsen Batu Bara Tertekan, Permintaan Smelter Melemah di Tengah Tekanan Regulasi

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co Industri batu bara Indonesia tengah menghadapi tekanan ganda: permintaan yang melambat dan regulasi pemerintah yang kian memberatkan. Setelah mengalami masa keemasan selama beberapa tahun terakhir, kini sektor ini harus menghadapi kenyataan bahwa permintaan dari smelter nikel – salah satu konsumen domestik batu bara terbesar – mulai menurun.

Mengutip Reuters, Rabu (30/7/2025), penurunan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik smelter berkaitan erat dengan turunnya produksi nikel di Indonesia. Industri nikel tengah mengalami kelebihan kapasitas, menyebabkan banyak smelter menghentikan sebagian operasionalnya.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memperkirakan permintaan batu bara untuk smelter akan mencapai puncaknya pada 2026 di angka 84,2 juta ton, namun akan terkoreksi menjadi 78,6 juta ton pada 2027. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri, mengingat sektor pembangkit captive smelter adalah pendorong pertumbuhan konsumsi batu bara domestik tercepat dalam beberapa tahun terakhir.

Analis senior dari Wood Mackenzie, Manish Gupta, menyatakan bahwa produsen batu bara harus mulai melakukan diversifikasi usaha agar tidak terlalu bergantung pada pasar ini. Ia juga menyebut belum terlihat sinyal bahwa kapasitas pembangkit listrik captive dari smelter nikel akan bertambah signifikan dalam waktu dekat.

Sebagai informasi, berdasarkan data Global Energy Monitor, kapasitas pembangkit batu bara captive dari industri smelter nikel telah mencapai 16,6 GW pada 2024, melonjak drastis dari hanya 5,5 GW pada 2019. Namun, harga nikel yang anjlok karena over supply dan lemahnya permintaan dari China – terutama untuk baja tahan karat – menyebabkan sejumlah smelter menghentikan operasionalnya. Salah satunya adalah fasilitas milik Tsingshan Holdings di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.

Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Wakil Ketua Indonesian Coal Mining Association (ICMA), Kristianto, mengakui bahwa permintaan dari smelter masih akan tumbuh, namun tidak secepat sebelumnya. Ia menekankan bahwa batu bara tetap akan menjadi tulang punggung energi untuk industri nikel karena transisi energi yang lambat dan tantangan dalam implementasi energi bersih.

Ekspor Tertekan, China Pangkas Impor

Tekanan terhadap industri batu bara nasional tak hanya berasal dari sisi domestik. Berdasarkan data Kpler, volume ekspor batu bara Indonesia pada Juni 2025 turun 12,6% secara tahunan. Sementara itu, data pemerintah menunjukkan nilai ekspor sepanjang Januari–Mei 2025 turun 19,1%. Khusus ke China – pasar utama batu bara Indonesia – ekspor anjlok hingga 30% yoy pada Juni 2025.

Langkah pemerintah China yang mendorong produksi batu bara domestik dan mengurangi ketergantungan impor menjadi penyebab utama. Penurunan ini cukup signifikan, mengingat China selama ini menyerap porsi besar dari ekspor batu bara RI.

Menurut laporan Kontan, batu bara menjadi penyumbang terbesar ekspor Indonesia, mencapai USD 30,49 miliar pada 2024. Maka, penurunan tajam dari sektor ini dipastikan berdampak pada perekonomian nasional, mengingat kontribusinya terhadap penerimaan negara dan ketergantungan tinggi terhadap komoditas ini.

Regulasi Baru Tambah Beban

Di tengah penurunan permintaan, pelaku usaha juga dibebani dengan aturan baru dari pemerintah. PP Nomor 18 Tahun 2025 yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 11 April 2025 menetapkan tarif royalti baru bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang berlaku efektif sejak 26 April 2025. Dalam ketentuan tersebut, rata-rata tarif royalti batu bara naik sebesar 1% dibandingkan aturan sebelumnya.

Beberapa perusahaan besar yang terkena dampak langsung antara lain PT Adaro Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, hingga PT Berau Coal.

Tak hanya itu, pemerintah juga sedang mempertimbangkan penerapan bea keluar untuk ekspor batu bara jika harga menyentuh level tertentu, sebagai upaya menambah pundi-pundi penerimaan negara. Di sisi lain, pencabutan subsidi biodiesel turut membuat biaya operasional tambang meningkat.

Tekanan dari segala arah ini memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi besar-besaran. Penurunan margin bisa berdampak pada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tambang, terutama di area yang padat pekerja.

Sumber: Bisnis.com/Sn

 

Scroll to Top