Jakarta | EGINDO.co – Produksi Kelapa Sawit Indonesia kalah dari Malaysia, mengapa hal itu bisa terjadi. Pada hal lahan Kelapa sawit Indonesia cukup luas. Dalam lima tahun terakhir produktivitas kelapa sawit Indonesia hampir dua kali lebih rendah dibandingkan Malaysia.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Kemenkeu Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan hal itu terjadi karena banyak lahan sawit yang belum matang, perawatan dan penggunaan pupuk belum optimal, serta dukungan pemerintah bagi petani plasma belum sebaik di Malaysia. “Ada beberapa tantangan di sektor hulu yaitu keterbatasan lahan dan moratorium perluasan lahan, kesejahteraan perkebun mandiri termasuk isu sengketa lahan, deforestasi dan degradasi lahan. Ini adalah tantangan yang harus dimitigasi risikonya terutama dalam pembuatan kebijakan,” katanya dalam diskusi Katadata Virtual Forum Series, belum lama ini.
Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi di sektor hulu sawit, pemerintah sudah menyiapkan program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Program BPDPKS antara lain pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit dan penyedian dan pemanfaatn bahan bakar nabati. Menurut Ubaidi program tersebut diharapkan mampu meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, menciptakan pasar domestik, menyerap kelebihan CPO di pasar dalam rangka stabilisai harga, dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Sementara itu, Program Officer Center Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan Trias Fetra mengatakan penggunaan dana perkebunan sawit belum memberikan kesejahteraan bagi petani sawit. Menurutnya, dari Rp11 triiliun dana sawit sekitar 80 persen digunakan untuk subsidi biodiesel. Tujuannya agar produksi biodiesel meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO sehingga mampu mendongkrak harga CPO. Implikasi lainnya, meningkatkan harga tandan buah segar sawit.
Namun, berdasarkan hasil analisis input-output, penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel tidak memberikan nilai manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibanding menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan perkebunan sawit.
Dijelaskan Trias, kebijakan penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel bisa dikatakan gagal sebab nilai tukar petani perkebunan rakyat tidak meningkat kecuali pada 2017. Padahal, apabila dana tersebut digunakan sepenuhnya untuk sawit maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan output pada sektor produksi perkebunan sawit sekitar 6,52 persen.
Diungkapkan Trias, minimnya alokasi anggaran daerah untuk petani sawit. Berdasarkan data 2020, Provinsi Riau mengalokasikan 66 persen anggaran di Dinas Perkebunan. Anggaran tersebut tidak spesifik untuk alokasi langsung pada peningkatan kesejahteraan petani sawit.
Katanya, Riau merupakan provinsi dengan tutupan sawit terbesar di Indonesia. “Kondisi petani sawit kita masih jauh dari sejahtera. Dalam tata niaga industri ini, petani sawit masih dikebiri, dana sawit yang harusnya untuk mereka dikooptasi oleh korporasi dan petani sawit juga belum menjadi prioritas terkait anggaran di daerah,” katanya menandaskan.@
Bs/TimEGINDO.co