Pra Peradilan: Mekanisme Pengawasan Kritis dalam Penegakan Hukum Indonesia

Pemerhati masalah transportasi dan hukum AKBP (P) Budiyanto,SH.SSOS.MH
Pemerhati masalah transportasi dan hukum AKBP (P) Budiyanto,SH.SSOS.MH

Jakarta|EGINDO.co Budiyanto, seorang pemerhati masalah transportasi dan hukum, menyatakan bahwa dugaan sebagian penyidik yang menganggap Pra Peradilan sebagai momok dalam proses penegakan hukum adalah keliru.

Menurutnya, hal ini tidak benar atau setidaknya tidak tepat, karena Pra Peradilan diatur dalam Hukum Acara Pidana dan memang disediakan ruang agar proses penyidikan dan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penegak hukum lainnya tidak sewenang-wenang atau sembrono.

“Semua harus mengacu pada aturan yang sudah diatur dalam hukum acara dan aturan teknis lainnya,”ujarnya.

Pra Peradilan merupakan fungsi kontrol agar proses penegakan hukum tetap berjalan dengan benar, dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah serta asas hukum lainnya.

Dikatakan Budiyanto, Sesuai dengan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pra Peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.

Baca Juga :  Jokowi Sebut Luka Korban HAM Berat Harus Dipulihkan

Ia tambahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 memutuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperluas ranah Pra Peradilan.

“Pra Peradilan tidak hanya mengatur hal-hal teknis yang bersifat formal atau prosedural yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan, tetapi juga berkaitan dengan prosedur penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan,”tandasnya.

Ditegaskannya, Penetapan tersangka tidak hanya didasari pada bukti permulaan yang cukup dan dua alat bukti, tetapi sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, penetapan tersangka wajib melalui pemeriksaan awal sebagai saksi sebelum dijadikan tersangka. Demikian juga persyaratan formal atau prosedur lainnya pada saat akan melakukan penyitaan dan penggeledahan, dan materi yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP.

Baca Juga :  AS Kemungkinan Batasi Level Chip Korea Selatan Buatan China

Dengan diperluasnya ranah Pra Peradilan, para penyidik dituntut untuk bekerja secara profesional dan taat hukum. Pra Peradilan bukan menjadi momok, tetapi sebagai fungsi kontrol agar penyidik cermat dan mengikuti aturan hukum acara dan aturan teknis lainnya pada saat akan melakukan upaya paksa dan tindakan hukum lainnya. “Kesalahan dalam menentukan hal-hal yang bersifat teknis formal atau prosedural dalam melakukan upaya paksa atau tindakan hukum lainnya memberikan ruang untuk dapat dikoreksi melalui Pra Peradilan,”ucapnya.

Mantan Kasubdit Bin Gakkum AKBP (P) Budiyanto, SH. SSOS. MH menjelaskan, Hasil dari putusan Pra Peradilan bisa sah atau tidak sah berkaitan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik penegak hukum lainnya. Apabila sidang Pra Peradilan menentukan bahwa tindakan hukum atau upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dianggap tidak sah, bukan berarti akhir dari semua proses penyidikan. Karena sidang Pra Peradilan hanya memeriksa hal-hal yang bersifat teknis formal atau prosedural sesuai dengan Pasal 77 huruf a KUHAP dan materi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan, belum memeriksa hal-hal yang bersifat substansial (materi pokok).

Baca Juga :  275 Polisi Amankan Pemakaman Raja Pura Mangkunegaran

“Dengan temuan novum atau bukti baru, masih ada ruang bagi penyidik untuk menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru,”tegasnya.

Ungkap Budiyanto, Dengan terbitnya Sprindik baru berarti penyidikan terhadap kasus yang dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan dapat dimulai dari awal. Artinya, tindakan hukum dalam hal upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik kemudian dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Pra Peradilan bukanlah akhir dari proses penyidikan terhadap kasus yang ditangani.

“Dengan novum atau bukti baru, proses penyidikan dapat dimulai lagi dengan menerbitkan Sprindik baru yang mendasari pada Hukum Acara dan aturan teknis lainnya,”tutup Budiyanto. ( Sn) 

Bagikan :
Scroll to Top