Oleh: Dr.Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec.,M.Si
Indonesia telah menapaki era baru dengan berbagai kemajuan fisik dan digital yang membanggakan. Jalan tol dibangun dari ujung ke ujung, koneksi internet makin meluas, dan layanan publik perlahan masuk ke ranah digital. Namun, di tengah geliat pembangunan menuju visi besar Indonesia Emas 2045, kita mesti bertanya secara jujur: apakah bangsa ini telah memiliki fondasi moral dan budaya yang cukup kuat untuk menopang lompatan besar itu?
Jawabannya, jika kita mau jujur, masih belum.
Sejak lama, para pemikir bangsa telah memperingatkan tentang beban mentalitas lama yang bisa menjadi penghambat modernisasi. Dua di antaranya adalah Muchtar Lubis dan Koentjaraningrat, yang sejak dekade 1970-an telah memetakan tantangan moral dan budaya bangsa. Kini, hampir 50 tahun kemudian, buah pikiran mereka terasa masih sangat relevan, bahkan kian nyata di era digitalisasi.
Cermin Diri dari Muchtar Lubis
Dalam pidatonya yang terkenal pada 1977 berjudul “Manusia Indonesia”, Muchtar Lubis menyebut tujuh ciri negatif manusia Indonesia: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, lemah dalam logika, tidak hemat, dan toleran terhadap korupsi. Kritik ini sempat menggemparkan publik karena berani, tajam, dan menyentuh aspek yang kerap dihindari dalam wacana pembangunan. Namun, mari kita lihat situasi hari ini. Apakah kritik itu sudah usang? Justru sebaliknya. Di era digital, watak-watak lama itu hidup dalam wajah baru:
- Munafik dan pencitraan kini mewujud dalam kampanye politik yang dangkal di media sosial.
- Feodalisme birokrasi tetap lestari meski layanan publik sudah berbasis aplikasi.
- Toleransi terhadap korupsi masih menjadi masalah akut, bahkan dalam proyek digital yang seharusnya transparan.
Digitalisasi, alih-alih membebaskan, terkadang hanya memperhalus wajah lama birokrasi: tampak modern, namun tetap kaku, lamban, dan sarat kepentingan.
Wawasan Budaya dari Koentjaraningrat
Sementara itu, Koentjaraningrat, sebagai antropolog, melihat tantangan budaya dari sisi kebiasaan mental negatif yang menghambat pembangunan. Dalam tulisannya tahun 1974, ia menyebut antara lain: kecenderungan suka menerabas, tidak disiplin waktu, orientasi jangka pendek, serta mudah puas diri. Kini, kebiasaan itu tetap tampak dalam berbagai bentuk:
- Budaya instan yang merajalela di media sosial,
- Disiplin rendah dalam manajemen proyek publik,
- Ketergantungan pada simbol-simbol prestasi, bukan substansi.
Koentjaraningrat menekankan bahwa modernisasi bukan hanya memerlukan teknologi, tetapi transformasi budaya kerja dan pola pikir masyarakat.
Era Digitalisasi: Kemajuan Kosmetik?
Teknologi memang telah mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, dan mengakses informasi. Namun, ia tidak otomatis mengubah cara berpikir dan bertindak. Banyak kebijakan digital pemerintah, seperti e-budgeting, e-katalog, atau pelayanan berbasis aplikasi, tetap menghadapi tantangan mendasar: rendahnya integritas, akuntabilitas, dan orientasi pada hasil.
Kita telah memiliki alat modern, tetapi masih terjebak dalam cara kerja lama. Seolah-olah hanya mengganti pena dengan layar sentuh, tetapi tidak mengganti cara berpikir di baliknya. Hal ini mengarah pada modernisasi semu, yang bisa rapuh jika tidak dibarengi perubahan karakter manusia di dalam sistem itu.
Pembangunan Manusia: Agenda yang Terabaikan
Visi Indonesia Emas 2045 kerap dikaitkan dengan bonus demografi, pertumbuhan ekonomi, dan kekuatan geopolitik. Namun, aspek moral dan budaya bangsa masih belum menjadi perhatian utama. Padahal, tidak ada negara maju yang dibangun hanya dengan beton dan bandwidth. Semua memerlukan etos kerja, nilai-nilai luhur, dan pola pikir modern yang tertanam dalam manusianya. Kita butuh manusia yang:
- Jujur, dalam setiap level pelayanan publik.
- Bertanggung jawab, bukan sekadar tunduk pada atasan.
- Berpikir kritis, bukan hanya reaktif dan emosional.
- Siap melayani, bukan hanya menuntut dihormati.
Peta jalan menuju Indonesia Emas harus dimulai dari pembaruan ini—pembenahan karakter dan budaya bangsa sebagai fondasi dari transformasi digital dan ekonomi.
Saatnya Berani Berubah
Sudah terlalu lama kita bersembunyi di balik kemajuan teknologi dan capaian infrastruktur. Kita bangga dengan tol laut, bandara internasional, dan aplikasi layanan, tetapi belum menjawab pertanyaan paling penting: apakah kita siap secara moral dan budaya untuk menjadi bangsa besar?
Peringatan dari Muchtar Lubis dan Koentjaraningrat bukan sekadar kritik masa lalu, tapi peta jalan etika dan budaya yang harus kita hayati hari ini. Jika kita ingin keluar dari krisis kepercayaan publik, stagnasi birokrasi, dan polarisasi sosial, maka jawabannya bukan sekadar regulasi baru—melainkan manusia Indonesia baru yang berani berubah.
Penutup: Indonesia Emas Dimulai dari Karakter Emas
Kita masih punya waktu menuju 2045, tetapi waktu itu akan sia-sia jika tidak digunakan untuk membentuk manusia yang berintegritas, rasional, dan visioner. Indonesia Emas tidak akan terwujud dari sistem digital semata. Ia hanya akan lahir dari moralitas baru, budaya kerja baru, dan kesadaran kolektif untuk menempatkan pelayanan di atas kekuasaan.
Teknologi hanyalah alat. Kemanusiaanlah yang menentukan ke mana arah bangsa ini bergerak.
***