Oleh: Fadmin Malau
Keberadaan penyair sufi Hamzah Al Fansuri memang misteri. Dimanakah penyair sufi ini meninggal? Dimanakah kuburannya? Apakah di Barus atau di Aceh? Keberadaan penyair yang terkenal dari kota tua Barus ini masih tanda tanya. Kuburan atau makam Hamzah Al Fansuri belum (tidak) ditemukan di Barus. Namun, di Aceh kuburan tokoh sufi ini menjadi tanda tanya sebab ada dua kuburan di Aceh yang menyebut makam Hamzah Al Fansuri, sementara ada informasi bahwa kuburan Hamzah Al Fansuri ada di Mekkah.
Menjadi misteri karena makam Syaikh Hamzah Al Fansuri ada di Oboh Kecamatan Runding Pemerintahan Kota Subulussalam Aceh dan juga ada makam Syaikh Hamzah Al Fansuri di Desa Ujung Pancu Kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar.
Dari dua makam itu, manakah makam Syaikh Hamzah Al Fansuri yang asli. Tidak ada informasi yang kuat akan makam itu. Informasi hanya menyebutkan penyair sufi dari kota tua Barus, Syaikh Hamzah Al Fansuri pernah tinggal di Oboh Kecamatan Runding Kota Subulussalam Aceh dan juga pernah tinggal di Desa Ujung Pancu Kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar, tidak disebut meninggal pada satu dari dua daerah yang memiliki makam Hamzah Al Fansuri.
Namun, makam ulama Hamzah Al Fansuri selalu ramai dikunjungi para penziarah yang datang dari berbagai daerah, terutama ketika bulan puasa Ramadan. Makam di kampong Obor itu bertulis : Inilah makam Hamzah Fansuri mursyid Syeikh Abdurrauf. Disebutkan pula Hamzah Fansuri wafat pada 1016H/1607M.
Para ahli sejarah juga belum bisa memastikan tentang riwayat hidup Hamzah Al Fansuri secara pasti. Para ahli sejarah memperkirakan Hamzah Al Fansuri hidup pada abad ke-16 dan dari nama belakang Fansuri atau “Fansur” menandakan penyair ini berasal dari Barus, kampung tua (kuno) yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga di daerah pesisir barat pulau Sumatra. Sebuah syair Hamzah Al Fansuri berjudul “Burung Pingai”
Hamzah Fansuri di Negeri Melayu/
Tempatnya kapur di dalam kayu/
Asalnya manikam tiadakan layu/
Dengan ilmu dunia di manakan payu//
Kata “kapur” dalam syair ini bermakna “Barus” yang akhirnya tercipta kosa kata majemuk yakni kapur barus.
Mengutip catatan A. Hasymi yang menulis tentang Kerajaan Aceh Darussalam, menyebut kampung Fansur sebagai pusat pendidikan Islam di Aceh Selatan. Disebutkan juga seorang ulama sufi Hamzah Al Fansuri yang dilahirkan dan menetap di Barus. Hamzah Fansuri tercatat dalam lintasan sejarah peradaban Aceh merupakan salah seorang sufi sekaligus sastrawan terkemuka yang tiada taranya dalam menulis karya-karya monumental kesusasteraan Melayu.
Sejalan dengan catatan A. Hasymi, mengutip pendapat Francois Valentijn (dalam T. Iskandar, 1996) dengan bukunya Oud en Niew Oost-Indien (1726) menyebutkan Hamzah Pantsoeri sebagai seorang penyair termashyur yang dilahirkan di Pantsoer (Barus) sehingga daerah ini menjadi terkenal. Benarkah Hamzah Fansuri lahir di Barus? Penulis belum dapat memastikan secara pasti akan tetapi dari syair-syairnya memperkuat Hamzah Al Fansuri lahir di Barus.
Bila dilihat dari karya Hamzah Al Fansuri dapat diketahui keberadaannya, karya Hamzah Al Fansuri ada dalam manuskrip kuno “Sejarah Melayu” (Melayu Annals) seperti “Durrul Manzum” (Benang Mutiara) dan “Al-Saiful Qati” (Pedang Tajam).
Syair-syair Hamzah Al Fansuri memiliki unsur sufistik dan banyak memengaruhi perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa seni budaya dan bahasa ilmu pengetahuan. Banyak pembendaharaan kosa kata Melayu yang mengalami pembaharuan terutama pada logika dan mantiq dalam bahasa. Umumnya syair-syair Hamzah Al Fansuri menceritakan hakikat ma’rifat jami’a bainahuma.
Syair-syair Hamzah Al Fansuri bernuansa agama karena latarbelakangnya seorang sufi pengelana dalam mencari ma’rifat sampai ke Kudus, Banten, Siam, Semenanjung Melayu, India, Persia dan Arab. Dalam pengelanaannya membuat kaya akan ilmu tasawuf dan itu muncul dalam bahasa Melayu. Keberadaan Hamzah Al Fansuri menjadi sangat penting karena merupakan penyair pertama yang menulis bentuk syair dalam bahasa Melayu.
Syair Hamzah Al Fansuri yang rindu, cinta kepada sang Al-Khaliq, Allah Yang Maha Esa. Rindu kepada sang Khaliq menjadikannya jiwa menyatu ke dalam diri Hamzah Al Fansuri. Jeritan jiwa Hamzah Al Fansuri ada dalam karyanya yang ekstentik seperti Syair Burung Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Burung Unggas, Syair Perahu, Bismilllahirrahmanir Rahim dan lainnya.
Keberadaan Hamzah Al Fansuri di Barus dan menggambarkan Barus sebagai sebuah Bandar (pelabuhan) internsional kala itu. Perdagangan internasional yang membuat jiwa kapitalis berkuasa sudah ada dalam syair Hamzah Al Fansuri seperti berjudul “Syair Dagang”
Hai sekalian kita yang kurang/
nafsumu itu lawan berperang/
jangan hendak lebih baiklah kurang/
janganlah sama dengan orang/
Amati-amati membuang diri/
menjadi dagang segenap diri/
baik-baik engkau fikiri/
supaya dapat emas sendiri//
Berbagai literatur menyebutkan Hamzah Al Fansuri seorang ulama, cendikiawan yang pergerakan (mobilitas) sangat tinggi, terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain (pengelana) dan bila Hamzah Al Fansuri disebut ada di Aceh Darussalam wajar saja. Bukan saja di Aceh Darussalam akan tetapi juga disebut berada di Riau. Hal ini boleh jadi benar sebab karya Raja Ali Haji, Bustan al-Katibin (1850), Gurindam Dua Belas (1847), Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) dan lainnya banyak diwarnai dengan karya-karya penyair Hamza Al Fansuri.
Sedihnya di Barus sendiri sangat sulit ditemukan karya-karya Hamzah Al Fansuri. Namun, bila dilihat karya-karyanya kota tua Barus selalu mewarnai karyanya. Banyak syair Hamzah Al Fansuri menceritakan tentang Barus seperti pada ”Syair Perahu”
Hamzah Fansuri di dalam Makkah/
Mencari Tuhan di bait al-Ka’bah/
Di Barus ke Kudus terlalu payah/
Akhirnya dapat di dalam rumah//
Dalam syair Perahu ini, Hamzah Al Fansuri dengan tegas dan jelas mengemukakan, menyebutkan siapa dirinya dan dimana berada pada waktu itu. Jelas dalam syair itu keberadaan Hamzah Al Fansuri di Barus karena menggambarkan alam Barus kala itu.
Syair Hamzah Al Fansuri yang mengakui dirinya seorang hamba Tuhan dan melihat alam Barus kala itu, tergambar dalam syairnya:
Jika terkenal dirimu bapak/
Engkaulah laut yang tidak berbagai/
Ombak dan laut tidak bercerai/
Musyahadahmu sana jangan kaulalai//
Barus sebagai bandar (pelabuhan) yang memiliki tepi pantai samudra Indonesia terhampar laut nan luas dengan deburan ombak yang tidak pernah berhenti menghempas pantai. Syair Hamzah Al Fansuri menulis ombak dan laut tidak bercerai memberikan petunjuk daerah itu berada di Barus.
Syair-syair Hamzah Al Fansuri yang begitu dekat dengan alam Barus, mulai dari hasil bumi yang sangat terkenal dan mahal, kapur barus sampai kepada laut dan deburan ombak yang ganas menghempas daratan. Semakin dibaca syair Hamzah Al Fansuri semakin terangsang untuk mengetahui keberadaan penyair Hamzah Al Fansuri.
Jelasnya jejak penyair Hamzah Al Fansuri pada abad ke-16 dan perlu menjadi catatan penting bahwa pada abad ke-16 pada dasarnya telah lahir kesusastraan Indonesia modren yang sama dengan para penyair barat. Penulis sangat yakin pada abad ke-16 sebab karya-karya Hamzah Al Fansuri tumbuh dan berkembang di Kerajaan Aceh waktu itu dan diteruskan para murid seperti Syamsuddin Pasai yang menjadi ulama istana pada era Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammil (1588-1604). Ulama Syamsuddin banyak mengutip dan mengulas karya-karya Hamzah Fansuri sehingga pada masa itu menjadi tokoh yang dikagumi.
Dengan demikian maka dapat dipastikan pada abad ke-16 sesungguhnya telah lahir kesusastraan Indonesia modren. Benarlah ungkapan yang mengatakan bukan penyair yang membuat syair akan tetapi syairlah yang melahirkan penyair. Kenyataannya, keberadaan penyair Hamzah Al Fansuri bisa dilihat dalam syair-syairnya meskipun di kota tua Barus kini tidak ditemukan lagi jejaknya.
* * *