Pengiat HAM: Penghinaan Dan Kritik Dalam KUHP Tidak Jelas

pegiat-hak-asasi-manusia-ham-asfinawati-nih3

Jakarta|EGINDO.co Pegiat hak asasi manusia (HAM) Asfinawati menilai bagian yang menjelaskan perbedaan hinaan dan kritik terhadap kekuasaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru tidak jelas.

Menurut Asfinawati dalam UU KUHP yang baru disahkan DPR menimbulkan kebingungan khusunya soal perbedaan saran dan kritik terhadap kekuasaan.

“Itu justru membingungkan ya, karena kita berdebat, yang konstruktif apa? Biasa mereka (pemerintah dan DPR) bilang, harus ada sarannya, dong. Lho, yang digaji siapa, kok kita disuruh kasih saran,”kata Asfinawati kepada awak media di cafe kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2022).

Dalam KUHP yang baru diketok palu oleh DPR RI Selasa (6/12/2022) kemarin, dijelaskan ihwal hinaan dalam Pasal 240 tentang penghinaan terhadap kekuasaan.

Penjelasannya ialah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah.

DPR di satu sisi, lanjut Asfi, mengakui kritik sebagai hak berekspresi dan berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.

Baca Juga :  Indeks Saham MSCI Dunia Rekor Tertinggi, Dolar Turun Setelah Data Inflasi AS

“Namun, DPR menerangkan bahwa kritik sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara,” jelasnya.

Asfinawati mencontohkan soal keluarga korban pelanggaran HAM berat oleh negara yang hingga sekarang tak kunjung mendapatkan keadilan.

Puluhan tahun mereka menanggung duka atas kekejaman negara yang merenggut buah hati mereka.

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Asfinawati ditemui di di cafe kawasan Menteng, Jakarta Pusatnya, Rabu (7/12/2022).

Dalam KUHP yang baru diketok palu oleh DPR RI Selasa (6/12/2022) kemarin, dijelaskan ihwal hinaan dalam Pasal 240 tentang penghinaan terhadap kekuasaan.

Ia menilai bagian yang menjelaskan perbedaan hinaan dan kritik terhadap kekuasaan dalam KUHP baru tidak jelas. 

“Itu justru membingungkan ya, karena kita berdebat, yang konstruktif apa? Biasa mereka (pemerintah dan DPR) bilang, harus ada sarannya, dong. Lho, yang digaji siapa, kok kita disuruh kasih saran,” kata Asfinawati kepada awak media di cafe kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2022).

Baca Juga :  Rusia Menyatakan Kegagalan Fungsi Jet Penyebab Tabrak Flat

Dalam KUHP yang baru diketok palu oleh DPR RI Selasa (6/12/2022) kemarin, dijelaskan ihwal hinaan dalam Pasal 240 tentang penghinaan terhadap kekuasaan.

Penjelasannya ialah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah.

DPR di satu sisi, lanjut Asfi, mengakui kritik sebagai hak berekspresi dan berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.

“Namun, DPR menerangkan bahwa kritik sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara,” jelasnya.

Asfinawati mencontohkan soal keluarga korban pelanggaran HAM berat oleh negara yang hingga sekarang tak kunjung mendapatkan keadilan.

Puluhan tahun mereka menanggung duka atas kekejaman negara yang merenggut buah hati mereka.

Baca Juga :  MK: Pertimbangkan Keterangan Benny K Harman Sebagai Ahli

“Kalau dia marah karena negara atau negara tidak mengungkap kebenaran siapa pelaku sebenarnya yang bukan cuma aktor lapangan, kemudian dia mengeluarkan kata-kata kasar karena marah itu, masa dia dipenjara,” ujar Asfinawati.

“Bukankah yang salah itu negara, sehingga ada orang yang sangat marah karena haknya terganggu dan dia menjadi bisa ditafsirkan kasar. Itu kan tetap kritik seharusnya,” sambungnya.

Sebagai informasi, KUHP baru telah disahkan DPR RI sebagai undang-undang lewat Rapat Paripurna yang berlangsung Selasa (7/12/2022), meskipun sejumlah pasal-pasal bermasalah dinilai masih bertebaran di dalamnya.

Selain penghinaan kekuasaan, pasal-pasal bermasalah lain di antaranya soal living law, hukuman mati, larangan penyebaran “paham tak sesuai Pancasila”, penghinaan peradilan, kohabitasi, larangan unjuk rasa, pelanggaran HAM berat masa lalu, dan ancaman pidana korupsi.

KUHP ini juga dianggap berperan pada sulitnya upaya menghukum korporasi kelak.

Sumber: Tribunnews.com/Sn

Bagikan :
Scroll to Top