Jakarta|EGINDO.co Budiyanto, seorang pemerhati masalah transportasi dan hukum, mengamati fenomena masyarakat sipil yang melakukan pengawalan terhadap pengguna jalan yang memiliki hak utama, seperti ambulans atau iring-iringan jenazah. Fenomena ini, menurutnya, menarik untuk dicermati dari perspektif kemanusiaan dan hukum.
Ia menyampaikan bahwa sering kali kita melihat pengendara sepeda motor mengambil posisi di depan atau di samping ambulans dengan tujuan untuk membantu kelancaran perjalanan ambulans yang tengah mengangkut pasien. Dari sudut pandang kemanusiaan, kepedulian dan rasa tanggung jawab pengendara tersebut patut diapresiasi dan dihormati.
Namun demikian, Budiyanto mengingatkan bahwa pengawalan di jalan raya memerlukan keterampilan khusus karena berkaitan dengan keselamatan, baik bagi pengendara yang melakukan pengawalan, ambulans, maupun pengguna jalan lainnya. Selain itu, dalam proses pengawalan sering kali terjadi upaya paksa, seperti menghentikan kendaraan atau mengarahkan pengguna jalan untuk menepi. Tindakan ini dilakukan di ruang publik dan berpotensi merampas hak pengguna jalan lainnya, meskipun bersifat sementara.
“Oleh karena itu, agar kegiatan pengawalan ini tidak melanggar undang-undang, sebaiknya kita serahkan kepada petugas yang memiliki kewenangan untuk melakukannya,” ujar Budiyanto.
Mantan Kepala Subdirektorat Pembinaan dan Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi (Purnawirawan) Budiyanto, S.H., S.Sos., M.H., menjelaskan bahwa tujuan utama pengawalan adalah memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada objek yang dikawal, dari titik awal hingga tujuan. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan dan landasan hukum yang jelas agar kegiatan tersebut tidak melanggar undang-undang dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum jika terjadi insiden di jalan.
Menurutnya, pengawalan yang dilakukan oleh petugas memiliki konsekuensi tanggung jawab baik dari segi kemanusiaan maupun hukum. Oleh karena itu, kewenangan dan tanggung jawab dalam pengawalan harus ditempatkan secara proporsional.
Budiyanto merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Pasal 14 huruf a, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 12 huruf e, yang menyatakan bahwa pengawalan merupakan tugas dan wewenang kepolisian. Pengawalan biasanya diberikan kepada objek atau pengguna jalan yang memiliki hak utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 134 dan Pasal 135 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
“Diskresi yang diberikan kepada petugas kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, memberikan kewenangan kepada petugas untuk melakukan tindakan demi kepentingan umum, termasuk menghentikan atau mengalihkan arus lalu lintas untuk memastikan kelancaran jalan,” jelas Budiyanto.
Ia menambahkan bahwa kegiatan pengawalan terhadap objek atau pengguna jalan yang memiliki hak utama termasuk dalam situasi tertentu yang memerlukan diskresi polisi, dan kegiatan ini dapat berdampak pada konsekuensi hukum. Oleh karena itu, agar pengawalan tersebut tidak menimbulkan pelanggaran hukum, sebaiknya diserahkan kepada petugas yang memiliki kewenangan.
“Pengawalan di jalan raya melibatkan berbagai tindakan yang bersinggungan dengan ruang publik dan hak-hak orang lain, yang harus kita hormati. Oleh karena itu, kembalikan fungsi dan tanggung jawab pengawalan kepada petugas yang memiliki kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu petugas kepolisian,” pungkas Budiyanto. (Sn)