Penerapan Hukum Terhadap Anak yang Diduga Melakukan Tindak Pidana

Praktisi hukum Maruli Simalango, S.H.
Praktisi hukum Maruli Simalango, S.H.

Jakarta|EGINDO.co Artikel yang ditulis oleh Maruli Simalango, S.H. menjelaskan penerapan hukum pidana terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana, Saat ini, semakin banyak kasus pidana yang melibatkan anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban. Salah satu contoh yang baru-baru ini menjadi sorotan di media sosial adalah kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang melibatkan empat orang anak di Palembang, di mana baik pelaku maupun korban adalah anak-anak. Melalui tulisan ini, penulis akan mengulas penerapan hukum pidana terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang diduga melakukan tindak pidana disebut sebagai “Anak yang Berkonflik dengan Hukum”. Anak tersebut adalah mereka yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum mencapai usia 18 tahun, yang diduga terlibat dalam tindak pidana.

Apabila anak yang belum mencapai usia 12 tahun diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial berwenang untuk memutuskan agar anak tersebut dikembalikan kepada orang tua atau wali, atau dimasukkan ke dalam program pendidikan, pembinaan, dan pendampingan di lembaga pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Baca Juga :  Thailand Berusaha Keras Cari Silinder Radioaktif Yang Hilang

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diatur bahwa penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum wajib diupayakan melalui diversi. Diversi merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara dari jalur peradilan formal ke luar peradilan, yang bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara tanpa proses pengadilan, mencegah perampasan kebebasan anak, serta menumbuhkan tanggung jawab pada anak dan masyarakat. Proses diversi ini dapat dilakukan apabila tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana penjara kurang dari tujuh tahun dan bukan merupakan tindak pidana berulang.

Proses Pemeriksaan Anak

Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, penyidik, jaksa, hakim, pembimbing kemasyarakatan, advokat, serta petugas lain yang terlibat dalam pemeriksaan perkara anak, anak korban, atau anak saksi, dilarang menggunakan toga atau atribut dinas selama proses pemeriksaan. Anak yang terlibat dalam setiap tahapan pemeriksaan wajib mendapatkan pendampingan hukum serta didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai ketentuan yang berlaku.

Baca Juga :  Rusli Tan: Pemilu Panen Pabrik Kertas, Permintaan Meningkat

Penahanan terhadap anak tidak diperbolehkan apabila terdapat jaminan dari orang tua atau wali, serta lembaga yang bersangkutan bahwa anak tersebut tidak akan melarikan diri, tidak akan merusak barang bukti, atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan hanya dapat dilakukan jika anak telah berusia 14 tahun atau lebih, dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih.

Pemeriksaan anak di pengadilan tingkat pertama dilakukan oleh hakim tunggal, dan sidang harus dilaksanakan secara tertutup, kecuali pada saat pembacaan putusan. Dalam proses sidang, hakim wajib memerintahkan kehadiran orang tua atau wali, pendamping, advokat, serta pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak. Apabila orang tua atau wali tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan kehadiran advokat atau pembimbing kemasyarakatan.

Jenis-Jenis Pidana yang Dapat Dijatuhkan kepada Anak

Berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak terdiri atas:

  1. Pidana Pokok, meliputi: pidana peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, serta pidana penjara.
  2. Pidana Tambahan, meliputi: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau pemenuhan kewajiban adat.
Baca Juga :  Kisah Porter Berharap Rezeki Dari Yang Datang Dan Pergi

Apabila anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi pidana penjara, maka lama hukuman yang dijatuhkan tidak boleh melebihi setengah dari ancaman pidana maksimum bagi orang dewasa.

Penutup

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana terhadap anak di Indonesia berbeda dengan peradilan bagi orang dewasa. Penanganan perkara anak mengutamakan pendekatan melalui diversi dan keadilan restoratif yang berfokus pada rehabilitasi, pendidikan, serta reintegrasi anak ke dalam masyarakat, daripada semata-mata pemberian hukuman. Hal ini bertujuan agar anak-anak yang berkonflik dengan hukum dapat kembali menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan. (Sn)

*****

Penulis adalah pemerhati masalah hukum dan praktisi hukum berdomisili di Jakarta

 

Bagikan :
Scroll to Top