Jakarta|EGINDO.co Belakangan ini banyak pemilik kendaraan bermotor ( ranmor ) yang kaget karena kendaraan bermotor diblokir saat akan melakukan registrasi pengesahan. Mereka tidak tahu jika kendaraan bermotor terkena jepretan CCTV E-TLE ( electronic law enforcemen ) kemudian diblokir karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya ( tidak ada surat konfirmasi yang mereka terima ).
AKBP ( P ) Budiyanto SSOS.MH ( Pemerhati masalah transportasi dan hukum, dari PP Polri Daerah Metro Jaya ), menjelaskan, dari aspek Hukum ( Yuridis ), pemblokiran kendaraan bermotor dibenarkan terhadap kendaraan bermotor yang diduga terlibat kecelakaan lalu lintas dan data yang didasarkan data elektronik telah melakukan pelanggaran ( pasal 115 Perkap Nomor 5 tahun 2012 tentang registrasi dan identifikasi ).
Lanjutnya, yang menjadi problem bahwa selama ini ada mekanisme E-TLE yang sudah baku, dimana data pelanggaran yang masuk di back office akan di analisa, diverifikasi dan dicocokan dengan data ERI ( electronik registrasi dan identifikasi ), dari data tersebut petugas mengirim surat konfirmasi kepada pemilik sesuai data yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan ( STNK ), untuk kemudian surat konfirmasi wajib dijawab pemilik kendaraan bermotor. Apabila dalam waktu 7 ( tujuh ) hari, pemilik tidak merespon atau memberikan jawaban / konfirmasi, kendaraan bermotor akan diblokir.
“Belakangan ini tidak sedikit pemilik kendaraan bermotor yang merasa kaget karena kendaraan bermotor di blokir karena melanggar lalu lintas ( jepretan CCTV E-TLE ), bahkan sampai 2 atau 3 kali melakukan pelanggaran yang belum mendapatkan surat konfirmasi,”ujarnya.
Menurut Budiyanto, kenapa hal tersebut bisa terjadi:
1.Ranmor sudah dijual tapi belum balik nama.
2.Pemiliknya pindah alamat.
3.Petugas pengirim Surat konfirmasi terbatas.
4.Sistem yang dibangun belum
sempurna ( seharusnya by sistem ).
5.Tidak sedikit masyarakat yang belum paham teknologi ( Gaptek ).
“E-TLE merupakan sistem penegakan hukum yang cukup efektif baik itu dari sisi peralatan – cara kerja – hasil deteksi dan dampak deterence effect. Adanya dugaan mekanisme E-TLE belum berjalan atau bekerja dengan maksimal akan dapat mereduksi efektivitas dari sistem E-TLE tersebut, dan menimbulkan keluhan atau keresahan masyarakat,”tandasnya.
Bahkan dengan tidak sempurnanya kenerja E-TLE dapat berkonsekuensi kepada masalah – masalah hukum. Mantan Kasubdit Bin Gakkum Polda Metro Jaya AKBP (P) Budiyanto MH mengatakan, perlu ada evaluasi dan penyempurnaan sistem tersebut sehingga masyarakat paham akan kendala yang terjadi. Pemberian pemahaman kepada masyarakat tetap disampaikan sebagai salah satu bentuk transparansi di bidang penegakan hukum. Penegakan hukum dengan dukungan elektronik merupakan suatu kenicayaan atau keharusnya dalam era digitalisasi dengan tujuan untuk menghindari penyalah gunaan wewenang berupa pungli ( pungutan liar ). Sistem E-TLE petugas tidak bersentuhan langsung dengan pelanggar di lapangan sehingga ruang adanya penyalah gunaan berupa pungli tertutup. Sistem E-TLE ini merupakan salah satu program presisi Kapolri dibidang penegakan hukum.
Ungkapnya, tilang manual ditiadakan diganti dengan sistem E-TLE karena dianggap lebih efektif. Program ini telah digelorakan sehingga sistem E-TLE yang sudah ada ( statis dan mobile ), secara bertahap harus disempurnakan sehingga dapat meningkatkan palayanan prima di bidang penegakan hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Mekanisme harus berjalan sesuai dengan alurnya, sehingga masyarakat tidak terkaget – kaget karena kendaraan bermotor yang di blokir padahal sebelumnya belum mendapatkan surat konfirmasi. “Sebagai renungan buat penyidik Polantas dan renungan kepada masyarakat secara luas,”tutup Budiyanto.
@Sadarudin