Pemerintah Tetapkan Bea Keluar Batu Bara Mulai 2026

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Jakarta|EGINDO.co Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan komoditas batu bara akan dikenai bea keluar mulai tahun 2026. Kebijakan ini mengakhiri masa keistimewaan “emas hitam” yang telah berlangsung sejak 2006, sekaligus menjadi langkah pemerintah untuk meningkatkan kontribusi sektor batu bara terhadap penerimaan negara.

Purbaya menilai kewajiban batu bara selama ini masih jauh lebih ringan dibandingkan sektor minyak dan gas. Ia membandingkan pungutan batu bara dengan skema Production Sharing Contract (PSC) migas, di mana porsi penerimaan pemerintah bisa mencapai 85%, sementara kontraktor hanya 15%.

“Semua perusahaan batu bara pasti menolak karena ada tarif ekspor. Tapi sebagian dari kita melihat, dibanding barang tambang lain seperti minyak, kontribusi batu bara lebih sedikit yang dibayar ke pemerintah,” ujar Purbaya, Rabu pekan lalu.

Ia menegaskan bahwa ruang fiskal dari batu bara masih sangat besar. Pemerintah, menurutnya, dapat meningkatkan pungutan tanpa mengurangi daya saing atau mematikan industri. Penyesuaian tersebut diperkirakan hanya akan mengoreksi margin keuntungan, namun tetap berada pada batas keekonomian yang wajar.

“Enggak mengganggu daya saing. Untuk mereka turun sedikit margin-nya itu masih wajar. Ini masih bisa ditingkatkan lagi tanpa mengganggu industrinya,” tegasnya.

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menilai kebijakan bea keluar akan lebih efektif jika diberlakukan dengan pendekatan tiered basis, yakni tarif yang disesuaikan berdasarkan tingkat harga batu bara.

Ia menyarankan penerapan bea keluar hanya ketika harga batu bara berada di atas US$160 per ton. Menurutnya, penerapan kebijakan saat harga melemah berpotensi menekan pelaku usaha.

“Bagus kalau diberlakukan dengan pola tiered basis dan disosialisasikan. Mungkin setelah harga di atas US$160 baru diberlakukan,” kata Singgih, Kamis (27/11/2025).

Saat ini harga batu bara global sedang melemah. Berdasarkan data ICE Newcastle Coal, harga berada di US$111 per ton, jauh di bawah level Januari 2025 yang mencapai US$139 per ton. Singgih memproyeksikan harga tetap rendah sepanjang 2026 karena kondisi pasar yang masih tertekan dan cenderung oversupply.

Ia menekankan perlunya pemerintah memperhitungkan kondisi hulu, termasuk biaya penambangan per ton, proyeksi pasar, serta tren harga sebelum menetapkan tahun implementasi kebijakan.

“Semestinya pemerintah tidak hanya bicara soal tahun berapa bea keluar diterapkan, tetapi kapan kondisi yang tepat untuk mengeluarkan kebijakan tersebut,” jelasnya.

Di sisi lain, otoritas pajak berupaya memperkuat pengawasan dan transparansi sektor pertambangan. Direktur Jenderal Pajak (DJP), Bimo Wijayanto, mendorong percepatan integrasi sistem Minerba-One milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan sistem Coretax milik DJP.

Integrasi ini diharapkan memberi gambaran komprehensif atas produksi, penjualan, hingga kewajiban perpajakan pelaku usaha minerba.

Selain itu, DJP dan Ditjen Minerba telah menyepakati komitmen pelunasan pajak sebagai salah satu syarat kelengkapan dalam pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

“Pelaksanaan kolaborasi ini merupakan upaya bersama mengelola kekayaan negara secara berkeadilan. Pesan Pak Presiden adalah kembali ke Pasal 33 UUD 1945, yaitu prinsip gotong royong,” ujar Bimo, Jumat (28/11/2025).

Data DJP menunjukkan jumlah wajib pajak sektor minerba meningkat rata-rata 3% per tahun, dari 6.321 wajib pajak pada 2021 menjadi 7.128 wajib pajak pada 2025. Penerimaan pajak sektor mineral logam melonjak signifikan dari Rp4 triliun pada 2016 menjadi Rp45 triliun pada 2024. Adapun penerimaan pajak batu bara masih berfluktuasi mengikuti harga komoditas global.

“Kami tidak bisa berdiri sendiri tanpa kontribusi pelaku sektor minerba yang menyumbang 20 hingga 25 persen penerimaan negara,” ujar Bimo.

Rencana pemerintah mengenakan bea keluar pada batu bara menjadi sinyal kuat bahwa sektor ini akan dikelola lebih optimal untuk kepentingan fiskal negara. Namun, efektivitas kebijakan akan ditentukan oleh timing, terutama mengingat kondisi pasar global yang masih lesu.

Dengan integrasi data penambangan dan perpajakan, pemerintah berharap kebijakan fiskal di sektor minerba lebih tepat sasaran, berkeadilan, dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi APBN tanpa mengganggu keberlanjutan usaha pertambangan. (Sn)

Scroll to Top