Jakarta|EGINDO.co Aksi boikot produk pro Israel terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Aksi ini dinilai turut membawa dampak negatif ke ekonomi Indonesia, termasuk pekerja yang berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas menurunnya pendapatan perusahaan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, aksi penolakan produk pro Israel merupakan langkah politik dan bukan langkah ekonomi, sehingga memerlukan arahan yang jelas dari pemerintah.
“Dalam hal ini, kita butuh kehadiran negara. Negara harus mengatakan mana yang diboikot, mengapa mereka diboikot,” kata Piter dalam podcast bertajuk “Dilema Boikot & PHK, Siapkah UMKM Serap Puluhan Ribu Tenaga Kerja?”, dikutip Selasa (19/12/2023).
“Kita harus punya gambaran jelas dan tidak menghakimi seenaknya. Apalagi ada perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Amerika yang sebenarnya produk lokal dan diciptakan oleh orang lokal,” sambung Piter.
Menurutnya, penting bagi masyarakat untuk memahami secara jelas kebenaran dan sumber fakta dari daftar produk yang diboikot.
Apalagi, banyak gerai-gerai multinasional di Indonesia yang dimiliki oleh orang Indonesia asli dan menjalankan seluruh kegiatan operasionalnya di dalam negeri, termasuk menggunakan pemasok bahan baku (supplier) lokal.
“Dalam pengertian ekonomi, boikot itu lebih banyak mudharatnya untuk Indonesia dibanding Israel. Dampak kepada Indonesia itu langsung dirasakan terutama bagi mereka yang bekerja di perusahaan yang diboikot dan para supplier,” tutur Piter.
Piter menjelaskan, aksi boikot yang tidak terarah dapat memicu risiko PHK, oleh karena itu pemerintah perlu hadir untuk melakukan tindakan mitigasi dan melindungi para pekerja Indonesia.
“Kita ini pro loh sama pengusaha-pengusaha kecil yang menyuplai mereka, nasinya, dagingnya, ayamnya misalnya atau packaging-nya, konsultan pajaknya. Dari ekosistem semua dari advertising-nya agency-nya itu pakai ekosistem lokal juga akan terdampak dan mereka juga UMKM,” ujarnya.
Terkait dengan shifting pekerja yang terkena PHK, Reinat mengungkapkan bahwa hal itu tidak semudah yang dibayangkan.
“Apabila perusahaan atau gerai-gerai multinasional ini collapse, para pekerja yang terdampak tidak bisa shifting karena mereka sangat mikro dengan (hanya memiliki) 1-2 karyawan. Jika para pekerja yang biasa mendapat gaji UMR bahkan di atas UMR pendapatannya menurun, maka daya beli juga ikut turun, semua jadi terkena imbasnya, baik gerai lokal maupun multinasional,” paparnya.
Sumber: Tribunnews.com/Sn