Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si
Tragedi lingkungan yang kembali terjadi di Sumatera—banjir bandang, longsor, dan kebakaran hutan yang merenggut jiwa serta menghancurkan rumah, ladang, dan sawah—sebenarnya bukanlah akibat bencana alam semata. Lebih tepat disebut sebagai bencana kebijakan. Sebab akar persoalannya bukanlah cuaca ekstrem atau faktor alam semata, melainkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan, terutama dalam pengawasan terhadap penebangan kayu alam (deforestasi) yang terus berlangsung.
Sudah terlalu sering kita mendengar janji restorasi, program rehabilitasi hutan, dan komitmen mitigasi bencana. Namun di lapangan, kita justru menyaksikan pembukaan hutan besar-besaran, maraknya izin industri ekstraktif, lemahnya penegakan hukum, serta minimnya upaya antisipasi bencana. Akibatnya, masyarakatlah yang menjadi korban pertama dan utama.
Dampak Jangka Pendek: Lingkungan Rusak, Hidup Masyarakat Porak-Poranda
Dalam hitungan bulan hingga tahun, deforestasi langsung mengoyak keseimbangan alam. Hutan yang seharusnya menjadi rumah bagi ribuan spesies justru lenyap, memaksa satwa liar masuk ke permukiman dan memicu konflik manusia–satwa yang makin sering terjadi. Akar-akar pepohonan yang dulu mengikat tanah hilang, menyebabkan erosi dan kekeruhan air sungai. Di sejumlah wilayah Sumatera, air yang dulu jernih kini berubah menjadi lumpur, memengaruhi kualitas hidup masyarakat yang menggantungkan hidup pada sungai.
Secara sosial, masyarakat kehilangan sumber pangan, obat-obatan tradisional, hingga bahan bangunan yang selama ini mereka dapat dari hutan. Konflik lahan pun meningkat, terutama dengan perusahaan besar yang mendapatkan izin pengelolaan hutan secara masif. Di sisi ekonomi, pemerintah sering berdalih bahwa pembukaan hutan dapat mendorong pendapatan dari penjualan kayu. Namun pendapatan itu bersifat instan dan sesaat, sementara biaya mitigasi banjir dan longsor mulai muncul bahkan sebelum keuntungan jangka pendek itu habis dinikmati.

Jangka Menengah: Banjir, Longsor, Krisis Air—Semuanya Terasa Semakin Nyata
Lima hingga dua puluh tahun setelah deforestasi besar-besaran, dampaknya semakin terasa dan mengarah pada krisis yang lebih dalam. Tanah yang kehilangan struktur alaminya tak lagi mampu menahan air. Tidak heran jika banjir bandang dan longsor semakin sering terjadi, seperti yang melanda Sumatera. Keanekaragaman hayati menurun drastis, beberapa spesies punah secara lokal, dan siklus air berubah sehingga kawasan yang dulu basah kini lebih kering.
Sosial-ekonomi masyarakat terpukul keras. Air bersih semakin sulit, suhu makin panas, produktivitas pertanian menurun karena tanah kehilangan kesuburan. Warga akhirnya terpaksa pindah, bukan karena keinginan, melainkan karena kebutuhan—sebuah bentuk migrasi yang sepenuhnya dipicu kerusakan lingkungan. Sementara itu, biaya bencana alam meningkat. Pemerintah mengeluarkan dana besar untuk menangani bencana, namun ironisnya, investasi untuk pencegahan dan restorasi hutan justru minim.
Jangka Panjang: Kerusakan Permanen, Iklim Berubah, dan Generasi Mendatang yang Membayar
Di atas 20 tahun, akibat deforestasi tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi berkontribusi pada perubahan iklim regional dan global. Hutan yang hilang berarti hilangnya kemampuan bumi menyerap karbon. Ekosistem yang dulu subur berubah menjadi lahan kritis, bahkan beberapa kawasan menghadapi fenomena penggurunan. Kerusakan ini bukan hanya soal alam. Ketahanan pangan pun menurun karena rusaknya tanah dan sumber air. Banyak masyarakat adat kehilangan budaya mereka yang berakar pada hutan. Konflik sosial juga meningkat karena perebutan sumber daya yang semakin langka.
Di titik ini, kerugian ekonomi tak lagi terukur. Biaya restorasi hutan jauh lebih besar daripada pencegahan, dan sektor-sektor yang mengandalkan hutan (pertanian, pariwisata, perikanan darat, obat-obatan) kehilangan produktivitasnya.
Pemerintah Perlu Berhenti Menutup Mata
Bencana di Sumatera seharusnya menjadi peringatan keras bahwa kebijakan pengelolaan hutan selama ini jauh dari kata serius. Pemerintah sering sibuk dengan narasi pembangunan, tetapi lupa bahwa pembangunan tanpa menjaga lingkungan adalah kontradiksi yang merusak masa depan. Yang dibutuhkan bukan lagi seminar atau pernyataan sikap, melainkan:
- penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku deforestasi ilegal,
- penghentian pemberian izin yang merusak ekologis,
- restorasi hutan berbasis ilmu dan komunitas lokal,
- investasi besar dalam mitigasi bencana,
- serta pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.
Kesimpulan: Hutan Rusak, Rakyat Sakit — Waktunya Pemerintah Bertindak Nyata
Ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga hutan bukan hanya masalah lingkungan; itu adalah masalah kemanusiaan, sosial, budaya, dan ekonomi. Dampaknya terasa dari jangka pendek hingga sangat panjang, dan setiap tahunnya korban terus berjatuhan. Jika pemerintah terus menganggap remeh kelestarian hutan, maka bencana seperti di Sumatera bukanlah kejadian luar biasa—melainkan pola yang akan terus berulang. Dan ketika hutan tak lagi menjadi benteng hidup, rakyatlah yang akan membayar dengan nyawa, harta, dan masa depan mereka. Alam bisa memaafkan, tapi tidak bisa dilupakan. Kita tidak punya banyak waktu. Pemerintah harus menunjukkan keseriusan—sekarang, bukan nanti.
***
Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) / Penggiat Lingkungan