Pemerhati Transportasi Sebut Menekan Polusi di Indonesia Relatif Sulit

Ilustrasi polusi kendaraan, asap mobil
Ilustrasi polusi kendaraan, asap mobil

Jakarta|EGINDO.co Budiyanto, seorang pakar transportasi dan hukum, menyoroti pentingnya peralihan menuju transportasi berkelanjutan yang ramah lingkungan dengan penggunaan bahan bakar non-fosil atau bahan bakar fosil yang memiliki kadar sulfur rendah. Menurut data, emisi gas buang kendaraan bermotor menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Indonesia, mencapai sekitar 47 persen, sementara sisanya berasal dari sumber lain. Saat ini, jumlah kendaraan di Indonesia telah melampaui 190 juta unit, di mana mayoritasnya masih menggunakan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan dengan kandungan sulfur yang tinggi. Misalnya, Pertalite memiliki kadar sulfur sekitar 500 bagian per juta (ppm), sedangkan Pertamax dengan oktan 92 memiliki kadar sulfur sekitar 400 ppm.

Baca Juga :  Kongres Partai Komunis China Ke-20 Mulai 16 Oktober

Budiyanto menjelaskan bahwa standar bahan bakar ramah lingkungan di Eropa, yaitu Euro IV, menetapkan batas maksimum kandungan sulfur sebesar 50 ppm. Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dengan bahan bakar yang umumnya digunakan di Indonesia. Saat ini, hanya beberapa jenis bahan bakar yang memenuhi standar Euro IV, seperti Pertamax Green, Pertamax Turbo, dan Pertadex 53, yang pun masih terbatas ketersediaannya, yakni hanya dijual di wilayah Jakarta dan Surabaya.

Budiyanto juga menekankan bahwa tingginya kandungan sulfur dalam bahan bakar fosil berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Kondisi ini, kata dia, turut menjadi alasan mengapa Jakarta pernah termasuk dalam jajaran kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia. Dengan jumlah kendaraan yang besar serta infrastruktur jalan yang belum memadai, risiko meningkatnya polusi udara pun semakin tinggi.

Baca Juga :  Erick Thohir Rombak Direksi MIND ID

Ia menegaskan bahwa Pertamina, sebagai perusahaan milik negara, harus mampu memproduksi bahan bakar fosil dengan kadar sulfur yang lebih rendah, meskipun biaya produksinya tinggi. Namun, ia juga menekankan bahwa beban biaya produksi tersebut sebaiknya tidak sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya subsidi untuk bahan bakar ramah lingkungan seperti Pertamax Green, Pertamax Turbo, dan Pertadex 53 yang sudah memenuhi standar Euro IV dengan kadar sulfur di bawah 50 ppm.

Budiyanto menggarisbawahi bahwa upaya menciptakan transportasi yang ramah lingkungan dengan bahan bakar berkadar sulfur rendah atau non-fosil merupakan langkah penting demi keberlangsungan pembangunan sumber daya manusia dan pelestarian lingkungan. Menurutnya, biaya tinggi yang dikeluarkan untuk memproduksi bahan bakar ramah lingkungan bukanlah hal yang harus dilihat sebagai beban, melainkan sebagai investasi jangka panjang untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat demi masa depan yang lebih baik serta kesejahteraan masyarakat Indonesia. (Sn)

Bagikan :
Scroll to Top