Pemerhati Budiyanto Sebut Pelanggaran Lane Hogger Terabaikan

Mantan Kasubdit Bin Gakkum Polda Metro Jaya AKBP (P) Budiyanto SH.SSOS.MH.
Mantan Kasubdit Bin Gakkum Polda Metro Jaya AKBP (P) Budiyanto SH.SSOS.MH.

Jakarta|EGINDO.co Pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto mengatakan, Pelanggaran lane hogger terutama di jalan tol masih sering terabaikan oleh petugas, padahal pelanggaran tersebut berpotensi terjadinya tabrakan beruntun. Timbul pertanyaan, mengapa pelanggaran tersebut masih sering terabaikan ? Jawabannya jelas bahwa pemahaman terhadap pelanggaran lane hogger belum seutuhnya dipahami dan disadari oleh pengemudi kendaraan bermotor dan kejadian pada umumnya terjadi di jalan tol.

Ia katakan, Jalan tol adalah jalan yang dirancang untuk mobilitas kendaraan dengan laju cepat tanpa hambatan. Dengan situasi ini kemungkinan menjadi pertimbangan petugas untuk tidak melakukan penindakan terhadap pelanggaran tersebut. Apabila setiap pelanggaran lane hogger ditindak barang tentu akan membahayakan pelanggar maupun petugas itu sendiri dari aspek keselamatan.

Lanjut Budiyanto, Lane hogger adalah kondisi yang menggambarkan atau mendiskripsikan pengemudi berjalan statis di lajur kanan padahal didepannya kosong. Seharusnya kendaraan bermotor yang sudah berhasil menyalip atau mendahului kendaran didepannya segera kembali ke lajur semula. Mengacu pada gerakan berlalu lintas yang benar. 

Baca Juga :  Teten: UMKM Di Lokapasar Daring Naik 99 Persen Sejak 2020

Mantan Kasubdit Bin Gakkum AKBP (P) Budiyanto menjelaskan, Mengacu pada regulasi yang mengatur tentang tata cara berlalu lintas bahwa lajur kanan hanya diperuntukan untuk kendaraan kecepatan lebih tinggi, akan belok kanan atau menyalip kendaraan lain. Pasal 106 ayat 4 huruf d UU Nomor 22 Tahun 2009, bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang gerakan lalu lintas.

Pasal 108 dalam Undang- Undang yang sama menurut Budiyanto sudah diterangkan bahwa lajur kanan hanya diperuntukan untuk kendaraan d kecepatan lebih tinggi, akan berbelok atau akan menyalip kendaraan lain. PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang jalan tol mengatur tentang lajur kanan, pasal 41 ayat ( 1 ) sampai dengan ayat ( 3 ), disebutkan: fungsi lajur kanan hanya diperuntukan bagi kendaraan yang bergerak cepat dan kendaraan yang berada pada lajur dengan batas yang ditetapkan.

Baca Juga :  IHSG Berpotensi Melemah Di Tengah Beragamnya Indeks Saham

Dikatakannya, Pasal 41 ayat ( 1 ) huruf b Penggunaan jalur lalu lintas jalan tol diatur bahwa lajur lalu lintas sebelah kanan hanya diperuntukan bagi kendaraan yang bergerak lebih cepat dari kendaraan yang berada pada lajur sebelah kirinya, sesuai dengan batas kecepatan yang ditetapkan. Dengan demikian bahwa pengendara kendaraan bermotor dalam kondisi statis di lajur kanan ( lane hogger ) merupakan pelanggaran lalu lintas. Kondisi demikian tidak bijak karena tidak memberikan ruang atau akses kendaraan dibelakangnya yang berkeinginan untuk mendahului kendaraan didepannya.

Mereka tidak sadar bahwa mengemudikan kendaraan bermotor dalam kondisi statis di lajur kanan cukup berbahaya dan tidak sedikit yang menimbulkan kecelakaan dengan modus beruntun, menurut Budiyanto Fenomena ini harus dicegah dengan langkah-langkah yang simultan dari mulai edukasi/ sosialisasi, membangun langkah pencegahan, dan penegakan hukum. Penegakan hukum tidak selamanya harus menggunakan tilang tapi dengan arahan, teguran juga merupakan bagian dari penegakan hukum.

Baca Juga :  Pemerhati Budiyanto Sebut Daya Traksi Ban & Resiko Kecelakaan

Ungkapnya, Pada prinsipnya bahwa penegakan hukum dapat dilakukan dengan cara represif justice / tilang atau dengan non justice/ teguran. Intinya bahwa pelanggaran lane hogger tidak boleh ada pembiaran. Pembiaran terhadap pelanggaran tersebut sama saja membiarkan terbentuknya budaya melanggar. Hal ini tidak boleh.

Upaya menyadarkan masyarakat dan membangun kepedulian petugas selalu harus digelorakan demi terciptanya budaya tertib berlalu lintas. “Pelanggaran lane hogger dapat dikenakan pasal 287 ayat 3 Undang –Undang Nomor 22 Tahun 2009, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah,”tegas Budiyanto. 

@Sadarudin

Bagikan :
Scroll to Top