Jakarta|EGINDO.co Pemerhati transportasi dan hukum, Budiyanto, menegaskan bahwa wacana pembatasan kendaraan bermotor di Jakarta harus melalui kajian yang mendalam dan komprehensif. Kebijakan ini berpotensi berdampak luas bagi masyarakat sehingga perlu dipertimbangkan secara matang dari berbagai aspek sebelum diterapkan.
Menurut Budiyanto, terdapat sejumlah aspek yang harus dikaji secara menyeluruh, meliputi aspek yuridis, ekonomi, sosial, serta kesiapan sistem transportasi publik yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ia menilai bahwa pembatasan kendaraan dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah. Kendaraan bermotor tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi, tetapi juga sebagai sarana pendukung aktivitas ekonomi, baik dalam distribusi barang maupun jasa. Oleh karena itu, pembatasan kendaraan yang tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur transportasi publik berpotensi menurunkan produktivitas dan menghambat pergerakan ekonomi.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, Pasal 24 Ayat (2) memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta untuk membatasi jumlah kendaraan serta menetapkan batas usia kendaraan perorangan. Wacana pembatasan ini sebenarnya telah bergulir sejak masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, tetapi hingga kini belum terealisasi.
Seiring dengan perubahan status Jakarta yang tidak lagi menjadi ibu kota negara, kota ini diproyeksikan akan berkembang menjadi kota global yang tetap menarik bagi para investor. Jakarta juga akan menjadi bagian dari wilayah aglomerasi yang mencakup kota-kota di sekitar Jabodetabek dan akan berada di bawah koordinasi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Meskipun Undang-Undang telah mengamanatkan pembatasan kendaraan, Budiyanto meyakini bahwa Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta tidak akan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Diperlukan kajian yang mendalam untuk memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sebagai langkah awal, diperlukan perencanaan yang matang melalui diskusi terarah yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Sosialisasi serta uji coba kebijakan juga perlu dilakukan untuk mengamati respons masyarakat serta mengevaluasi implementasi di lapangan. Hasil evaluasi nantinya akan menjadi dasar dalam menentukan apakah kebijakan ini dapat dilaksanakan, perlu ditunda, atau bahkan dibatalkan.
Keputusan akhir mengenai kebijakan pembatasan kendaraan tetap berada di tangan Gubernur sebagai pemimpin eksekutif serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai representasi masyarakat. Dengan kajian yang menyeluruh dan kebijakan yang tepat, diharapkan keputusan yang diambil dapat memberikan manfaat bagi seluruh warga Jakarta. (Sadarudin)