Jakarta|EGINDO.co Global warming memaksa negara dunia mendorong pembangunan yang berkelanjutan, menjadi sebuah keniscayaan. Indonesia sebagai entitas dunia tidak bisa mengelak akan keterlibatan dalam pembangunan berkelanjutan. Alhasil, Indonesia harus mulai mengubah mindset pembangunan nasionalnya ke arah ekonomi hijau.
Presiden Joko Widodo telah mendorong reorientasi pembangunan ekonomi, menuju ekonomi hijau atau ekonomi yang ramah terhadap lingkungan. Bagi Indonesia, implementasi terkait ekonomi hijau, termasuk penggunaan energi baru dan terbarukan bukanlah hal mudah.
Meski negara ini memiliki sumber energi yang berlimpah. Berbagai tantangan yang ada, salah satunya ialah mengubah paradigma pendekatan konvensional di mana meski sejumlah program menuju ekonomi hijau terus didorong, akselerasinya belum maksimal seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, wujud keseriusan dan komitmen Indonesia menurunkan emisi CO2 dunia yang telah meningkat ekstrem adalah melalui regulasi bursa karbon oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan rencananya berlaku September 2023.
Mengapa harus bursa karbon? Karena opportunity dari kebijakan bursa karbon, yang pertama, bentuk implementasi konkret ekonomi hijau dalam menurunkan emisi karbon, kedua, yakni pasar karbon bisa memberi potensi ekonomi yang begitu besar, sudah banyak negara tertarik menggeluti dan mengembangkan bidang ini. Ketiga, transparansi, pembeli dan penjual dapat melihat harga secara transparan dan juga adanya direct access sehingga tidak ada kebingungan untuk mencari penjual atau pembeli credit carbon.
Komitmen Indonesia akan ekonomi hijau tertuang pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), disebutkan bahwa bursa karbon dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah mendapat izin usaha dari OJK. Beberapa hari yang lalu, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Regulasi ini berupa penunjukkan bagi siapa pun entitas yang berminat untuk mendaftarkan diri sebagai penyelenggara bursa karbon ke OJK.
NILAI PASAR KARBON
Apa sih yang dimaksud dengan bursa karbon. Bursa karbon adalah pasar tempat perdagangan izin emisi karbon dan kredit karbon. Konsepnya muncul sebagai bagian dari upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim.
Bursa karbon bertujuan untuk menciptakan insentif bagi perusahaan dan negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara menyediakan mekanisme untuk membeli dan menjual izin emisi atau kredit karbon Perdagangan karbon adalah mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk membatasi emisi gas rumah kaca.
Bursa karbon akan membatasi jumlah emisi yang dapat dihasilkan oleh perusahaan, dan jika melebihi batas tersebut dapat membeli izin dari pihak lainnya. Artinya, ketika perusahaan telah melewati batas emisi yang diizinkan (cap), mereka harus membeli izin dari perusahaan yang memiliki kredit karbon dengan harga yang ditentukan lewat mekanisme pasar di bursa karbon.
Secara global nilai pasar karbon tahun 2022 mencapai US$909 miliar atau setara Rp13.635 triliun, menurut estimasi Refinitiv. Sekitar 12,5 miliar ton izin karbon berpindah tangan 20% lebih rendah dari tahun sebelumnya, tetapi nilai pasar naik 14% karena harga yang naik signifikan.
Pasar karbon terbesar dunia, European Union Emissions Trading System (EU ETS), yang diluncurkan pada 2005, tahun 2022 bernilai sekitar 751 miliar euro (Rp12.057 triliun), naik 10% dari tahun sebelumnya dan mewakili 87% dari total pasar karbon global.
Sementara itu untuk perdagangan karbon dalam negeri, sejumlah pihak menyebut estimasi nilai pasarnya bisa mencapai ratusan miliar dolar. Estimasi dari asosiasi pertambangan batubara dalam negeri menyebut potensi perdagangan karbon di Indonesia diperkirakan mencapai US$300 miliar atau sekitar Rp4.500 per tahun.
Adapun Indonesia saat ini memiliki kurang lebih 125 juta hektare yang diprediksi dapat menyerap 25 miliar ton karbon Terlepas dari opportunity yang ada, muncul tantangan bursa karbon di Indonesia antara lain; pertama, perusahaan belum banyak memahami dan menyadari terkait betapa pentingnya bursa karbon.
Di samping itu, perusahaan mengharapkan adanya insentif dalam langkah mengurangi lebih banyak karbon. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat bagi perusahaan agar tertarik pada bursa karbon adalah menyadari pentingnya efisiensi untuk mengurangi CO2.
Dampak dari langkah efisiensi pada akhirnya akan berbalik kepada perusahaan itu sendiri, salah satunya bisa meraup kinerja keuangan yang lebih optimal.
Pemerintah sendiri menargetkan bursa karbon tahap awal akan diramaikan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di tahun ini. Adapun PLTU yang ikut dalam perdagangan karbon adalah PLTU di atas 100 Megawatt, dan 2024 di atas 50 Megawatt, kemudian diharapkan seluruh PLTU dan PLTG akan masuk pasar karbon pada 2025.
Aspek pemenuhan indikator Environmental, Social, and Governance (ESG) juga harus diperjelas, apakah perusahaan sudah menerapkan green initiative ataupun green investment. Sebab, kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan aspek penghijauan seperti tanggung jawab sosial (TJSL) bisa dimaknai telah memenuhi syarat dalam memenuhi indikator ESG.
Kedua, walaupun dibentuk dalam keadaan yang belum begitu sempurna, kehadiran bursa karbon yang ada tetap penting keberadaannya untuk menjadi pemantik bagi terciptanya ekosistem perdagangan karbon dan bakal terintegrasi dengan aturan pajak karbon nantinya.
Proses membentuk bursa karbon yang ideal setidaknya membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun, apabila berkaca pada China yang lebih dulu menerapkan perdagangan karbon. China telah memulai uji coba skema perdagangan karbon di beberapa wilayahnya, termasuk di Shanghai dan beberapa provinsi lainnya.
Diharapkan, komitmen Indonesia dari implementasi kebijakan bursa karbon yang ada perlu didukung semua pihak untuk mendapatkan manfaat, dan pada saat yang sama tetap konsisten menurunkan karbon dioksida, agar target net zero emission pada 2060 tercapai. Semoga.
Sumber: Bisnis.com/Sn