Pajak Karbon Ditolak Pengusaha, Mengapa?

Pajak Karbon
Pajak Karbon

Jakarta | EGINDO.co – Pajak karbon ditolak para pengusaha. Hal itu ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Selasa (24/8/2021) kemarin.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Komisi XI DPR RI membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Para pengusaha menolak pada beleid klausul soal pajak karbon dalam Pasal 44G RUU KUP. Para pengusaha menolak karena dinilai akan memberatkan perekonomian Indonesia yang kini sudah dalam keadaan sulit.

Baca Juga :  Catatan Akhir Pekan: Pungutan Pajak Karbon

Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasyid ada 18 asosiasi pengusaha sepakat menolak rencana pajak karbon. Dari 18 asosiasi pengusaha itu terdiri dari ratusan pengusaha sepakat menolak rencana implementasi pajak karbon.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsyad mengatakan ada beberapa hal yang jadi pertimbangan para pengusaha. Penerapan pajak karbon di Indonesia berpotensi menimbulkan dampak negatif sangat signifikan dan sistemik bagi kestabilan perekonomian Indonesia, neraca perdagangan, dan pendapatan negara. “Pajak karbon akan membuat penambahan beban biaya bagi perusahaan membuat industri semakin tertekan, memperlemah daya saing industri, dan meningkatkan laju produk impor ke Indonesia,” katanya.

Dinilainya setali tiga uang, penerapan pajak karbon memberikan multiplier effect kepada sektor usaha lainnya. “Nantinya akan mendorong kenaikan biaya produksi dan distribusi produk serta akan menekan daya beli atau buying power masyarakat, bisa nanti menimbulkan inflasi,” kata Arsjad dalam keterangan resminya, Selasa (24/8/2021) kepada wartawan.

Baca Juga :  Pemerintah Utang Minyak Goreng Ke Pengusaha Hampir Rp1 T

Kemudian, Arsjad mengatakan akan ketergantungan proses produksi dan distribusi industri terhadap bahan bakar fosil. Hal itu karena kini masih sangat tinggi ketergantungan akan bahan bakar fosil.

Disebutkannya berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada kuartal II- 2020, bauran EBT nasional baru mencapai 10,9%, naik tipis dari capaian hingga akhir 2019 yang sebesar 9,1%. Kontribusi batubara dan minyak masih mendominasi.

Sedangkan bauran EBT untuk pembangkit listrik, PLN mencatatkan kontribusi energi baru terbarukan dalam penggunaan bahan bakar pembangkit listrik hingga November 2020 baru mencapai 12,6%. Sementara non-EBT masih sangat besar yakni 87,4%. Hal itu menunjukkan bahwa batubara masih merupakan tulang punggung bagi penyediaan listrik di Indonesia.@

Baca Juga :  BMKG : Intensitas Gempa Susulan Di Cianjur Terus Melandai

Bs/TimEGINDO.co

Bagikan :
Scroll to Top