Mulai Kehidupan dari Sebuah Toko Kecil, Eka Tjipta Widjaja

Oei Tjek Tjai (kanan) ayah Eka Tjipta Widjaja dan ibunya
Oei Tjek Tjai (kanan) ayah Eka Tjipta Widjaja dan ibunya

Mengenang Lima Tahun Meninggalnya Eka Tjipta Widjaja

Oleh: Fadmin Malau

TEPATNYA pada tahun 1930, Eka Tjipta Widjaya yang saat itu masih dipanggil Oei Ek Tjhong bersama ibunya akhirnya pindah ke kota Makassar. Kala itu kota Makassar sedang tidak baik-baik saja karena Indonesia atau saat itu masih dikenal dengan nama Hindia Belanda, dalam jajahan Kompeni atau Belanda. Kala itu terjadi The Great Depression atau depresi hebat yang melanda dunia pada tahun 1930-an dan terimbas ke Indonesia.

Kondisi itu dijelaskan dalam buku “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” yang ditulis Soegijanto Padmo. Mengapa Indonesia dan Makassar menjadi terimbas? Jawabnya karena Indonesia kala itu sebagai daerah pengekspor komoditas primer pertanian sedang menghadapi penurunan harga produksi pertanian maka pemerintah Belanda di Indonesia memerintahkan agar produksi pertanian dan perkebunan ditingkatkan. Pasalnya karena volume ekspor pertanian anjlok pada tahun 1930 jika dibandingkan tahun 1928. Sistem moneter internasional mengatur langkah pemulihan dunia usaha dan perdagangan internasional jatuh.

Dalam buku “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” yang ditulis Soegijanto Padmo dijelaskan dampak kongkrit depresi hebat itu adalah hancurnya harga dan permintaan komoditas internasional, masalah pengusaha tanaman khususnya karet dan gula, krisis keuangan yang disebabkan oleh berkurangnya penerimaan dan belanja pemerintah serta terakhir dampak sosial ekonomi yakni hilangnya kesempatan kerja, pendapatan dan daya beli masyarakat.

Baca Juga :  Pegawai Honorer Dihapus, UU Nomor 20 Tahun 2023 Disahkan
Reflika model kapal kayu Fujian, perahu layar Tiongkok

Penurunan pada industri perkebunan dan kegiatan perdagangan, lebih dari 300.000 lapangan pekerjaan di perkebunan musnah. Upah pekerja juga turun hingga 50 persen. Pendapatan penduduk menurun hingga 50 persen. Dampak depresi hebat pada perkebunan gula adalah cadangan yang sangat tinggi selama periode 1930-1931, akan tetapi harga merosot.

Pada kala itu pemeritah Belanda di Indonesia menyetujui pembatasan produksi yang tertuang dalam perjanjian internasional Chadbourne. Akhirnya, banyak pabrik gula terpaksa tutup. Pada tahun 1933, hampir separuh pabrik di Indonesia tutup. Memasuki akhir depresi hebat pada tahun 1939, hanya tersisa 55 pabrik gula yang bertahan dan bisa beroperasi kembali dari total 180 pabrik yang ada pada tahun 1930.

Sedangkan pada tahun 1930-an, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang China. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.

Baca Juga :  APP Sinarmas, Gelaran Wakafkan Alquran Di Balai Kota Jakarta

Kemudian barang dagangan China seperti porselen dan kain sutera, dijual para saudagar dengan harga yang lebih murah di Makassar. Adanya pasaran baru mendorong kembali aktivitas penduduk kota dan kawasan Makassar. Hal itu terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang China dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara. Dengan semakin berputarnya roda perekonornian di Makassar, jumlah penduduknya meningkat dan dinobatkan sebagai “kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda”

Julukan atau penobatan itu dinyatakan Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Polandia terkenal dan menjadi salah satu port of call utama bagi para pelaut pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang sangat laris di pasaran dunia. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat, antara tahun 1930-an sampai Tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 jiwa, lebih dari pada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota.

Sesampainya di Makassar pada tahun 1930, Eka Tjipta Widjaya yang mana belum dikenal nama Eka Tjipta Widjaja. Kala itu masih bernama Oei Ek Tjhong berusia 9 tahun bertemu ayahnya. Sang ayah waktu itu sudah punya rumah yang dindingnya terbuat dari bambu (gedhek), atapnya dari daun rumbia. Sang ayah juga sudah punya usaha kecil-kecilan. Ada sebuah toko sederhana. Namun, sang ayah masih mempunyai utang kepada rentenir sebanyak 150 dollar yang harus dibayarkan. Utang itu dipinjam untuk modal ayah Eka Tjipta Widjaja datang ke Makassar.

Baca Juga :  Mengenal Indah Kiat Pulp & Paper Produsen Kertas Hingga Tisu

Tidak ada pilihan di kota baru dikunjunginya itu Makassar, Eka Tjipta Widjaja bersama kedua orang tuanya tinggal di rumah yang dindingnya terbuat dari bambu dan atapnya dari daun rumbia. Meski begitu Eka Tjipta Widjaja kecil sangat senang sebab bisa kembali berkumpul dengan ayahnya setelah berpisah beberapa waktu karena sang ayah merantau ke Makassar, Indonesia.

Kala itu kota Makassar dan kota lainnya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Dampak kongkrit dari depresi hebat membuat hancur perekonomian, dampak sosial ekonomi terjadi, hilangnya kesempatan kerja buat masyarakat, turunnya pendapatan dan melemahnya daya beli masyarakat. Untuk bertahan hidup, sang ayah membangun usaha kecil-kecilan berupa toko sederhana dengan harapan bisa segera membayar utang dan Eka Tjipta Widjaja berusia kanak-kanak itu turut membantu ayahnya berjualan. (BERSAMBUNG besok bagian kelima)

 ***

Bagikan :
Scroll to Top