Jakarta | EGINDO.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022. Mahkamah menyatakan Pasal 28 ayat (3) UU Advokat inkonstitusonal bersyarat. Dalam pasal tersebut Mahkamah menambahkan ketentuan pimpinan organisasi advokat nonaktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara.
“Mahkamah memiliki dasar yang kuat dan mendasar untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus nonaktif apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara. Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (conflict of interest) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri,” ujar Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan Putusan Nomor 183/PUU-XXII/2024 pada Rabu (30/7/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta yang dikutip EGINDO.com pada Selasa (5/8/2025) dari laman resmi MKRI.
Disebutkan dengan demikian, Pasal 28 ayat (3) UU Advokat sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan nonaktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara.”
Menurut Mahkamah, jika dikaitkan dengan profesi advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat demikian seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya, untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan. Perumusan norma yang membatasi secara jelas jabatan pimpinan organisasi advokat dengan jabatan negara (pejabat negara) menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum bagi semua anggota organisasi advokat.
Advokat yang diangkat/ditunjuk Presiden menjadi menteri/wakil menteri maka advokat yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas atau cuti sebagai advokat, sebagaimana larangan yang termaktub Pasal 20 ayat (3) UU Advokat. Artinya, dengan status advokat tidak melaksanakan tugas sebagai advokat, dalam batas penalaran yang wajar, advokat yang menjalakan tugas sebagai pejabat negara dengan sendirinya menjadi kehilangan pijakan hukum untuk menjadi pimpinan suatu organisasi advokat. Namun, karena pemaknaan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah tidak sama seperti yang dimohonkan oleh Pemohon, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Pemohon menginginkan agar pemaknaan pasal yang diuji ditambahkan frasa “dan tidak dapat merangkap sebagai pejabat negara.”
Putusan tersebut diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Menurut Hakim Daniel, Pemohon tidak memiliki kepentingan langsung terhadap organisasi advokat yang dipersoalkan in casu PERADI dan Pemohon tidak menguraikan anggapan kerugian hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Menurut Hakim Daniel, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan tersebut. Oleh karenanya, Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Sebagai informasi, Pemohon perkara ini yaitu Advokat Andri Darmawan yang mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1), 28E ayat (3), dan 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pemohon mempersoalkan tidak adanya ketentuan larangan jabatan pimpinan organisasi yang tidak dapat dirangkap dengan pejabat negara dalam pasal yang diuji. Pasal 28 ayat (3) UU Advokat sebagaimana telah dimaknai melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 yang diucapkan pada 31 Oktober 2022 lalu berbunyi, “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.”
Menurut Andri, pimpinan organisasi advokat yang merangkap sebagai pejabat negara menyebabkan organisasi advokat menjadi tidak bebas dan mandiri karena adanya intervensi kekuasaan pemerintahan dalam organisasi advokat dan juga kecenderungan adanya dominasi individu atau kelompok organisasi advokat tertentu yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang jamak dipahami.@
MKRI/timEGINDO.com