Medan | EGINDO.com – Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol menyatakan telah meninjau kembali atau menarik izin lingkungan terhadap 8 perusahaan yang berkontribusi memperparah kondisi banjir di Sumatera, pada Rabu, 3 Desember 2025. Awalnya, Menteri Lingkungan Hidup tidak menyebutkan identitas 8 perusahaan yang dimaksud. Belakangan, baru disebutkan 4 dari 8 perusahaan yang dimakasud yakni PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), PTPN III, dan terakhir PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Sementera, Menteri Kehutanan, Raja Juli menyatakan bahwasannya tim telah menemukan indikasi pelanggaran di 12 lokasi subjek hukum. 12 perusahaan di Sumatera Utara dan penegakan hukum terhadap 12 subjek Perusahaan tersebut akan segera dilakukan. Akan tetapi, Menteri Kehutanan masih merahasiakan dan belum mempublikasi identitas 12 perusahaan tersebut dengan alasan bahwasannya proses penegakan hukum atas dugaan pelanggaran masih dilakukan.
Manajer Advokasi Walhi Sumut, Jaka Kelana Damanik dalam siaran persnya yang diterima EGINDO.com pada Senin (8/12/2025) berpendapat sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan tidak transparan, sehingga patut menimbulkan berbagai persepsi di kalangan masyarakat. Para Menteri harusnya membuka identitas perusahaan-perusahaan tersebut, baik yang telah dicabut izin lingkungannya, maupun yang masih proses hukum agar masyarakat dapat turut serta mengawasi apabila perusahaan-perusahaan tersebut masih beroperasi dan melakukan pengerusakan lingkungan atau hutan.
Sikap yang tidak transparan akan menimbulkan ketidakpatian. Kondisi ini sangat rentan menimbulkan praktik atau transaksi negatif misalnya pemerasan atau penyuapan yang dapat dilakukan oleh pihak terkait agar identitas perusahaan tidak dipublikasi atau perusahaan tersebut dihilangkan dari daftar Perusahaan perusak lingkungan atau mengganti identitas perusahaan yang melanggar dengan perusahaan lain. Melihat sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan yang tidak transparan tersebut, maka Walhi Sumut patut menduga kuat bahwasannya Kedua Menteri tersebut sedang melakukan transaksi dengan perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.
Jika tidak ingin mempublikasi identitas perusahaan perusak lingkungan, maka seharusnya dari awal Kedua Menteri tersebut tidak perlu mempublikasi jumlah perusahasaan perusak lingkungan. Hal ini hanya membuat bingung publik dan membuka peluang praktik kotor antara Perusahaan dan pihak Kementerian. Peran masyarakat dibutuhkan dalam mengawasi aktivitas perusahaan-perusahaan, hal ini juga dijamin dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang pada pokoknya menyatakan bahwasannya masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat tersebut dapat berupa pengawasan sosial pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan yang tidak transparan, secara nyata juga telah melanggar UUPPLH dengan menghalangi masyarakat untuk menjalankan perannya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Deforestasi dan Buruknya Tata Kelola Hutan
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol menerangkan bahwa hasil pemeriksaan awal memperlihatkan kayu terseret banjir merupakan kombinasi pohon tumbang alami dan material kayu yang masuk tidak alami ke badan sungai. Hanif juga memastikan bahwa material kayu yang memenuhi aliran sungai bukan berasal dari hulu Batang Toru. Namun proses pemeriksaan tetap dilakukan secara rinci. Walhi Sumut melihat isu yang dibangun saat ini yakni kayu-kayu yang ada di sungai batang toru yang menjadi penyebab banjir bandang. Isu ini juga sedang dibangun oleh perusahaan tambang emas PT Agincourt Resources yang selalu menarasikan bahwa operasional mereka berada di aek (sungai) pahu bukan di sungai batang toru sehingga kayu yang berada terbawa air sungai batang toru bukan berasal dari aktivitas PT Agincourt Resources.
Walhi Sumut sejak awal menyatakan bahwa akar permasalahan bencana banjir bandang dan tanah longsor adalah deforestasi, sedangkan kayu-kayu yang terbawa banjir bandang tersebut hanya merupakan bukti bahwa telah terjadi deforestasi. Jika, dalam aktivitasnya PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), PTPN III, dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) harus melakukan penebangan hutan dan atau mengalihfungsikan hutan dan atau mengubah fungsi hutan alami baik di kawasan hutan maupun di areal penggunaan lain (APL), maka perusahaan-perusahaan tersebut termasuk pihak yang menjadi biang kerok bencana alam yang terjadi.
Pemerintah juga tidak bisa lepas dari tanggungjawab, karena deforestasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut atas izin dari pemerintah. Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi aktor utama dalam kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah titik bencana Sumatera khususnya Sumatera Utara. Menteri Kehutanan mempunyai wewenang untuk melepaskan suatu kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL).
Walhi Sumut melihat hal itu menjadi salah satu celah bagi mafia di tubuh Kementerian Kehutanan dan mafia dari kalangan pengusaha untuk mengubah status kawasan hutan menjadi APL agar bisa diekspolitasi dengan menghindari ancaman pidana. Dengan diubahnya status kawasan, maka Pihak Kementerian ESDM dapat dengan leluasa memberikan izin-izin khususnya terkait pertambangan, dan seharusnya Pihak Kementerian Lingkungan Hidup bergerak cepat mengaudit izin-izin lingkungan hidup sebelum beroperasi, namun faktanya Menteri Lingkungan Hidup terlihat baru bekerja jika hanya ada desakan dari masyarakat secara luas. Misalnya pencabutan izin lingkungan atau pengehntian operasional sementara terhadap PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), PTPN III, dan PT Toba Pulp Lestari (TPL), baru dilakukan pada saat bencana banjir bandang dan tanah longsor telah terjadi, padahal perusahaan-perusahaan tersebut telah beroperasi selama belasan bahkan puluhan tahun.
Untuk itu, sebagai penembus dosa masa lalu dan untuk keselamatan masyarakat secara luas, maka pencabutan izin lingkungan atau izin operasional jangan hanya untuk sementara waktu, tapi harus secara tetap atau permanen, sehingga deforestasi tidak berlanjut. Jika hanya untuk sementara waktu, maka hal ini juga akan menimbulkan kerentanan terhadap praktik suap dan pemerasan yang dilakukan pihak Kementerian dan Perusahaan dan tidak ada jaminan deforestasi dan bencana dapat diatasi.
Sebelumnya, Walhi Sumut telah mempublikasi 7 perusahaan yang dinilai berkontribusi besar dalam laju deforestasi di ekosistem batang toru/harangan tapanuli (Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara). Adapun rincian luasan dan jumlah pohon hutan alami yang ditebang (deforestasi) oleh perusahaan-perusahaan tersebut, yakni sebagai berikut:
- Perusahaan tambang emas PT Agincourt Resources telah melakukan deforestasi mencapai 646,08 hektar dan telah menebang pohon hutan alami paling sedikit 206.074 batang.
- Perusahaan industri energi pembangkit Listrik tenaga air, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) telah melakukan deforestasi mencapai 330 hektar dan telah menebang pohon hutan alami paling sedikit 105.270 batang.
- Perusahaan perkebunan kelapa sawit (BUMN) PTPN III telah melakukan deforestasi seluas 4372,02 hektar dan telah menebang pohon hutan alami paling sedikit 1.394.674 batang.
- Perusahaan industri kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL), dalam hal ini telah melakukan deforestasi dengan skema Perkebunan kayu rakyat (PKR) dengan luas mencapai 5000 hektar dan telah menebang pohon hutan alami paling sedikit 1.595.000 batang.
- Perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Sago telah melakukan deforestasi mencapai 300 hektar dan menebang pohon hutan alami paling sedikit 95.700 batang.
- Perusahaan industri energi pembangkit listrik tenaga panas bumi, PT Sarulla Operation Limited (SOL) yang telah melakukan deforestasi mencapai 125,23 hektar menebang pohon hutan alami paling sedikit 39.948 batang.
- Perusahaan industri energi listrik, Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hydro (PLTMH) Pahae Julu telah melakukan deforestasi mencapai 22,8 hektar dan telah menebang pohon hutan alami paling sedikit 7273 batang.
Sejak berdiri hingga saat ini, ketujuh perusahaan tersebut secara keseluruhan telah melakukan deforestasi mencapai luas 10.795,31 hektar dan telah menebang pohon hutan alami paling sedikit 3.443.939 batang.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Walhi Sumut mendesak stakeholder yang dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan, untuk :
- Mematuhi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menjalankan perannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2).
- Mempublikasikan atau mengumumkan identitas perusahaan-perusahaan (subjek hukum) perusak lingkungan baik yang telah dicabut izinnya maupun yang masih dalam proses pemeriksaan.
- Mencabut keseluruhan izin dan menghentikan operasional perusahaan secara tetap atau permanen.
- Meminta maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat khususnya yang terdampak banjir bandang dan tanah longsor atas pembiaran atau kelalaian dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk kegagalan dalam penyelenggaraan tata kelola hutan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara.@
Rel/fd/timEGINDO.com