Jakarta | EGINDO.co – Peluncuran Pedoman Penataan Kebijakan Selisih Biaya oleh Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) melalui koordinasi antara penyelenggara jaminan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan langkah lanjutan dalam penataan kebijakan JKN. Program ini adalah salah satu program besar yang bertujuan memberikan perlindungan finansial bagi masyarakat Indonesia dalam mengakses pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan.
Dalam siaran pers Kemenkes yang dilansir EGINDO.co pada Senin (16/9/2024) menyebutkan peluncuran pedoman selisih biaya kesehatan dilaksanakan di ruang aula Siwabessy, Gedung Prof. Sujudi. Dalam sambutannya, Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa National Health Account (NHA) menunjukkan belanja kesehatan Indonesia terus meningkat. Pada 2023, belanja kesehatan sebesar Rp 606,3 triliun, atau meningkat sebesar 8% dibandingkan tahun 2020, yakni Rp 562,6 triliun. Proporsi terbesar peningkatan terjadi pada skema Asuransi Kesehatan (Askes) sosial.
Proporsi belanja kesehatan out-of-pocket (OOP) menunjukkan tren penurunan dari 32,3% pada 2019 menjadi 28,9% pada 2023. Namun, secara nominal, belanja OOP mengalami peningkatan, yaitu dari Rp 157,5 triliun pada 2019 menjadi Rp 175,5 triliun pada 2023. Pelaksanaan Program JKN dianggap sebagai salah satu faktor pendorong turunnya proporsi OOP di Indonesia, meskipun nilai OOP masih dinilai tinggi karena target pada 2023 adalah 24%. Program JKN memberikan opsi bagi peserta yang ingin naik kelas rawat di atas haknya. Untuk kenaikan kelas ini, peserta harus menanggung selisih biaya antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dan biaya layanan yang diinginkan.
Implementasi ini sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 23 Ayat 4, yang memungkinkan peserta menggunakan Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) atau membayar sendiri selisih biaya. Permenkes No. 3 Tahun 2023 mengatur standar biaya pelayanan JKN, namun belum mengatur koordinasi antara BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Tambahan. Pedoman ini diperlukan sebagai dasar kesepakatan antara fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan, dan asuransi swasta dalam menentukan tarif dan manfaat asuransi. Sejak 2014, Program JKN memberi ruang kepada peserta yang menginginkan kelas rawat lebih tinggi dari haknya, dengan dikenakan selisih biaya. Namun, hal tersebut harus sesuai dengan regulasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004.
Secara singkat, skema penjaminan selisih biaya adalah sebagai berikut: BPJS Kesehatan menanggung 75% dari tarif INA-CBG sesuai kelas perawatan yang sesuai dengan hak kelas perawatan peserta dan diklaimkan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut, sementara selisih biaya yang ditanggung oleh asuransi kesehatan tambahan adalah perbedaan antara tarif fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut dan biaya yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Besaran selisih ini maksimal 125% dari tarif INA-CBG yang sesuai dengan kelas perawatan peserta.
Dalam sambutannya, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Syarifah Liza Munira menyampaikan, selisih biaya sebenarnya sudah diatur dalam regulasi JKN, yaitu UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, serta Permenkes No. 3 Tahun 2023. Namun, belum ada pedoman yang mengatur koordinasi antarpenyelenggara jaminan, sehingga diperlukan pedoman untuk membangun koordinasi yang sinergis antara BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Tambahan, serta memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan koridor UU SJSN.
“Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1366/2024 tentang Pedoman Penataan Kebijakan Selisih Biaya oleh Asuransi Kesehatan Tambahan melalui koordinasi antarpenyelenggara jaminan dalam Program JKN saat ini kita terbitkan dan akan menjadi acuan pelaksanaan selisih biaya bagi fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut BPJS kesehatan dan asuransi kesehatan swasta,” jelas Kepala BKPK Syarifah Liza Munira.@
Rel/fd/timEGINDO.co