Menjaga Toko, Filosofi Sepeda Berdagang Datangi Pembeli

Miniatur model sepeda dari Eka Tjipta Widjaja mendatangi pembeli
Miniatur model sepeda dari Eka Tjipta Widjaja mendatangi pembeli

Mengenang Lima Tahun Meninggalnya Eka Tjipta Widjaja

Oleh: Fadmin Malau

KETIKA Eka Tjipta Widjaja berada di Makassar kala itu Makassar telah menjadi kota yang ramai, kota dengan geliat ekonomi yang baik. Kota Makassar pada tahun 1938 telah menjadi kota terbesar kedua di luar Pulau Jawa. Hal itu menurut Soegijanto Padmo dalam bukunya berjudul, “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” menggambarkan Kota Makassar dengan sederetan panjang toko-toko di tengah kota.

Tentu toko-toko itu menjual berbagai barang inpor dari berbagai negara. Kehidupan Kota Makassar dengan toko-tokonya itu menggambarkan kehidupan masyarakat dari segi sosial, ekonomi berkembang dinamis. Kota Makassar menjadi harapan banyak orang dan menjadi tempat perantauan mencari kehidupan. Kota Makassar menjadi kota cosmopolitan dengan diisi oleh berbagai suku bangsa. Eka Tjipta Widjaja bersama sang ayah berupaya menciptakan peluang bisnis di kota bisnis itu. Geliat Kota Makassar membuat semangat Eka Tjipta Widjaja bergelora untuk menjalankan bisnis atau usaha dari sang ayah.

Keputusan Eka Tjipta Widjaja semakin kokoh untuk tidak meneruskan pendidikan formal setammat dari Sekolah Dasar, bertarung dengan bisnis berjualan menjaga toko kecil sederhana milik Oei Tjek Tjai, ayahnya. Memang Kota Makassar sebagaimana yang digambarkan Soegijanto Padmo dalam bukunya berjudul, “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” dengan sederetan panjang toko-toko di tengah kota akan tetapi Kota Makassar tidak dalam keadaan baik-baik saja, persaingan yang ketat para penduduknya dalam mencari hidup dan kehidupan, termasuk Eka Tjipta Widjaja bersama ayahnya.

Tidak ada pilihan lain harus berdagang, menjaga toko sederhana itu untuk dapat bertahan hidup dengan kerasnya persaingan di Kota Makassar kala itu. Bagi Eka Tjipta Widjaja yang beranjak remaja itu bukan saja harus bisa bertahan hidup di Kota Makassar akan tetapi juga harus bisa melunasi utang ayahnya kepada rentenir sebanyak 150 dollar. Utang harus dibayar, tidak ada alasan untuk tidak membayar utang, masalah ekonomi menjadi masalah lain. Utang tetap utang dan utang harus dibayar karena orang yang memberikan utang pasti akan terus menagih utang sebelum lunas dibayar.

Baca Juga :  Ukraina Desak Barat Tekan Lebih Keras Harga Minyak Rusia

Utang ayahnya adalah utang untuk modal usaha datang ke Makassar dan kini usaha harus berjalan lancar, usaha harus untung agar bisa membayar utang dan dapat bertahan hidup melanjutkan kehidupan. Eka Tjipta Widjaja bertekat, toko kecil sederhana milik ayahnya yang dijaganya harus bisa berkembang, harus bisa maju. Toko berkembang bila habis barang dagangan yang ada di toko kecil sederhana itu dan berganti dengan barang dagangan yang baru. Barang dagangan harus habis dalam waktu singkat agar mendapat keuntungan, hanya toko yang barang dagangannya habis terjual dan pembeli yang ramai yang mampu menghasilkan keuntungan.

“Kesulitan apapun, asal punya keinginan untuk berjuang, pasti bisa diatasi,” kata Eka Tjipta Widjaja kepada para wartawan beberapa tahun yang lalu tentang bagaimana dirinya membangun bisnis dari kecil hingga besar seperti sekarang Sinarmas grup.

Agaknya apa yang diucapkan Eka Tjipta Widjaja itu telah diwujudkannya pada tahun 1938 ketika masih remaja di Kota Makassar. Meski Eka Tjipta Widjaja masih berumur 15 tahun tetapi pemikiran bisnisnya jauh kedepan. Orang lain belum terpikir akan tetapi Eka Tjipta Widjaja telah menciptakannya, telah membuka peluang bisnis yang belum orang lain pikirkan dan lakukan. Akhirnya, Eka Tjipta Widjaja diminta orangtuanya menjaga toko di kampungnya, Makassar.

Baca Juga :  Australia Banjir Ribuan Orang Ngungsi Ke Tempat Lebih Tinggi

Apa yang terjadi dengan toko yang dijaga Eka Tjipta Widjaja? Toko itu sepi pembeli, seharian Eka Tjipta Widjaja menjaga toko, menanti pembeli yang datang akan tetapi yang datang membeli hanya hitungan jari tangan, paling banyak hanya 5 orang sehari. Eka Tjipta Widjaja tidak menyerah dengan keadaan, tidak menerima toko yang dijaganya sepi pembeli. Bila toko terus sepi pembeli maka akan sulit mendapatkan keuntungan sementara harus membayar utang orangtuanya kepada rentenir.

Eka Tjipta Widjaja menemukan gagasan dan gagasan itu disampaikannya kepada orangtuanya. Sebuah ide kreatif untuk berdagang dengan mendatangi pembeli, bukan menanti pembeli datang. Eka Tjipta Widjaja mengusulkan kepada orangtuanya untuk mendatangi calon pembeli dengan membawa dan menawarkan barang dagangan. Eka Tjipta Widjaja siap membawa dan menawarkan barang dagangan langsung kepada calon pembeli dengan bersepeda. Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo (Jokowi) dalam banyak kesempatan selalu memberi hadiah sepeda. Mengapa hadiahnya sepeda? Ada filosofi yang terkandung pada sepeda.

Sepeda kenderaan roda dua tanpa mesin itu kini mulai langka digunakan sebagai alat transportasi. Sepeda dalam Bahasa Inggris adalah Bicycle. Sepeda kendaraan beroda dua yang mempunyai setang atau alat kendali, tempat duduk dan sepasang pengayuh yang digerakkan kaki untuk menjalankannya. Sesungguhnya sepeda memiliki filosofi yang melambangkan kehidupan manusia. Hidup bisa terus berjalan dengan baik jika kita menjaga keseimbangan dalam kehidupan.

Filosofi sepeda ini dilakoni Eka Tjipta Widjaja seorang pengusaha lintas lima masa yakni masa penjajahan Jepang, masa Kemerdekaan, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan masa Reformasi. Filosofi sepeda melambangkan kehidupan manusia. Pasalnya, ketika kita belajar menaiki sepeda, hal yang pertama dilakukan menyeimbangkan tubuh dengan sepeda. Perlu semangat pantang menyerah untuk melakukannya, sebab begitu pertama belajar menaiki sepeda pasti terjatuh. Begitu terjatuh dan berhenti mencoba lagi menaiki sepeda maka kita tidak akan bisa menaiki sepeda. Harus terus, terus dan terus mencobanya, jangan menyerah.

Baca Juga :  Cerita Minyak Goreng Bimoli, Setengah Abad Silam

Sepeda bagi sang Founding Father, Eka Tjipta Widjaja tidak bisa dipisahkan dalam hidupnya, sepeda menjadi saksi perjuangan dalam menjalankan bisnisnya. Eka Tjipta Widjaja gigih membantu orangtuanya berjualan di Kota Makassar dengan berjualan permen, kue dan berbagai barang yang ada di toko orangtuanya dengan cara bersepeda berkeliling Kota Makassar.

Tidak ada kata menyerah, pantang menyerah bagi Eka Tjipta Widjaja, terus berusaha mendapatkan pemasok kembang gula dan biskuit. Dengan bersepeda menembus kondisi alam yang ada, jalan rusak harus dilalui dengan bersepeda.

Akhirnya pada saat 100 Tahun Eka Tjipta Widjaja, logonya menyerupai roda sepeda yang dikayuh oleh Eka Tjipta Widjaja ketika memulai bisnisnya. Filosofi sepeda dengan dua roda berputar secara terus menerus melambangkan nilai dan prinsip pantang menyerah yang diwariskan bagi keluarga besar Eka Tjipta Widjaja Begitulah kehidupan seperti sepeda, berjalan dengan keseimbangan yang artinya menyeimbangkan hidup dan harus terus bergerak. Bila berhenti maka kita jatuh dari sepeda. Semua manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka dengan terus bergerak seperti sepeda maka memberi kita kekuatan untuk terus menjalani kehidupan yang sebenarnya.

Perjalanan bisnis Asia Pulp and Paper berkat semangat pantang menyerah Eka Tjipta Widjaja yang menjadi inspirasi bagi para penerusnya dalam menghadapi situasi sesulit apapun. Semangat pantang menyerah satu filosofi berharga dari pendiri perusahaan, Eka Tjipta Widjaja. (BERSAMBUNG besok bagian keenam)

***

Bagikan :
Scroll to Top