Menghayati Syair Perahu Fanshuri Dalam Kehidupan Kini

Fadmin Malau
Fadmin Malau

Oleh: Fadmin Malau

Petikan syair Perahu, Hamzah Al Fansyuri, “Wahai  muda kenali dirimu/ Ibarat perahu tamsil tubuhmu/ Tiadalah berapa lama hidupmu/ Ke akhirat jua kekal dirimu/ Hai muda arif budiman/ Hasilkan kemudi dengan pedoman/ Alat perahu jua kerjakan/ Itulah jalan pembetuli insan//”

Syair Perahu Hamzah Al Fansyuri bercerita tentang hakikat kehidupan manusia di dunia dengan tujuan ke akhirat. Syeikh Hamzah Fanshuri, penyair besar dunia Melayu dan juga ulama tasawuf (sufi) tepat dengan syairnya.

Dimana dan kapan penyair ini lahir masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Prof. Ali Hasjmy menyebutkan Hamzah Fanshuri lahir di Fanshur, sebuah desa kecil di Singgkil (Aceh). Namun, para ahli sejarah lain menyebutkan lahir di Barus Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara.

Literatur lain menyebutkan Hamzah Fanshuri lahir di Syahrun Nuwi, Ayuthia, Pattani (Siam) yang merupakan anak dari Syeikh Ismail Al-Asyi (Aceh) yang hijrah ke Ayuthia Siam. Syeikh Ismail menjadi Raja Pattani atau menjadi Wali Negeri (Gubernur) di Wilayah Ayuthia.

Perdebatan para ahli sejarah ini sah sah saja. Namun, bila menghayati bait-bait syair Perahu Hamzah Al Fanshuri perdebatan itu bisa dijawab, dimana penyair sufi itu lahir.

Bait syair Perahu berikutnya, “Hamzah Fanshuri di dalam Makkah/ Mencari Tuhan di bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah//”

Syair Perahu ini, Hamzah Al Fanshuri menjelaskan siapa dirinya dan dimana dilahirkan. Kata /Di Barus ke Kudus terlalu payah// Akhirnya dapat di dalam rumah//. Sebuah pencarian jati diri dan mengkaji diri.

Hal ini terlihat pada bait syair Perahu yang ditulisnya, /Wahai muda kenali dirimu/ Ibarat perahu tamsil tubuhmu//.

Para ahli sejarah menyebutkan ulama sufi Hamzah Fanshuri hidup pada zaman Sultan Alaiddin Riayatsyah IV, Saidil Mukammil (1589-1604 M) di Bandar Aceh Darussalam, ibukota Kerajaan Aceh zaman itu.

Baca Juga :  Drama Musikal “Putri Runduk” Sibolga Pukau Penonton PRSU

Disebutkan juga Hamzah Fanshuri seorang musafir (mengembara) ke berbagai  Kerajaan Islam, seperti Demak, Banten di Pulau Jawa, Banjar di Kalimantan, Malaya, Thailand, Persia, Arab dan Palestina.

Tentang Kehidupan Manusia di Dunia

Dalam syair Perahu tergambar bahwa dirinya seorang pengembara. Begitu juga pada syair-syair lainnya dalam kitab Kara seperti Syair Dagang, Syair Si Burung Pingai, Syair Sidang Fakir, Syair Perahu dan Syair Si Burung Pungguk.

Syair-syair itu bercerita tentang kehidupan manusia di dunia ini, tentang tauhid dan makrifat. Pada syair Dagang pendapat ahli sejarah yang mengatakan Hamzah Fanshuri seorang pengembara. Dalam bait syairnya Barus digambarkannya sebagai sebuah Bandar (Pelabuhan) Internsional waktu itu.

Dalam bait syair Dagang, “Hai sekalian kita yang kurang/ nafsumu itu lawan berperang/ jangan hendak lebih baiklah kurang/ janganlah sama dengan orang/ Amati-amati membuang diri/ menjadi dagang segenap diri/ baik-baik engkau fikiri/ supaya dapat emas sendiri//”

Menghayati bait syair Hamzah Al Fanshuri menjawab perdebatan para ahli sejarah tentang keberadaan Hamzah Al Fanshuri. Tabir tentang keberadaannya berhubungan dengan “Fansur” sebuah daerah bernama Barus, kampung tua (kuno) di antara kota Singkil dan Sibolga di pesisir barat pulau Sumatera.

Hal ini jelas tertulis dalam bait syair Burung Pingai Hamzah Al Fanshuri, “Hamzah Fansuri di Negeri Melayu/ Tempatnya kapur di dalam kayu/ Asalnya manikam tiadakan layu/ Dengan ilmu dunia di manakan payu//”

Secara ilmiah ilmu pertanian, baik syait /Tempat kapur di dalam kayu// bermakna Pohon Kapur Barus yang dahulu tumbuh subur di kota tua Barus.

Baca Juga :  Elon Musk, Pemerintah China Akan Memulai Peraturan AI

Keberadaan Hamzah Al Fanshuri jelas di Barus akan tetapi dimana kuburnya masih misteri sampai hari ini. Apakah di Barus atau di Aceh. Kuburan atau makam Hamzah Al Fanshuri belum ditemukan di Barus. Namun, di Aceh ditemukan dua kuburan yang menyebut makam Hamzah Al Fanshuri.

Satu di Oboh Kecamatan Runding Pemerintahan Kota Subulussalam Aceh dan satu lagi di Desa Ujung Pancu Kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar. Dari dua makam itu, manakah makam Syaikh Hamzah Al Fansuri yang asli? Tidak ada informasi lengkap tentang makam itu, hanya menyebutkan penyair sufi dari kota tua Barus.

Tulisan Hasymi tentang Kerajaan Aceh Darussalam, menyebut kampung Fansur sebagai pusat pendidikan Islam di Aceh Selatan dan ada seorang ulama sufi Hamzah Al Fanshuri dilahirkan dan menetap di Barus.

Begitu juga pendapat Francois Valentijn (dalam T. Iskandar, 1996) dengan bukunya Oud en Niew Oost-Indien (1726) menyebutkan Hamzah Pantsoeri sebagai seorang penyair termashyur dilahirkan di Pantsoer (Barus) sehingga daerah ini menjadi terkenal.

Sejarawan  terkenal alm. Dada Meraxa, dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Sumatera menulis Hamzah Fanshuri wafat di Singkil (Aceh), makamnya terletak di Kampung Oboh, Rundeng, Hulu sungai Singkil.

Pendapat para ahli sejarah ini butuh penelitian lebih lanjut agar jelas keberadaan penyair sufi Hamzah Fanshuri. Dalam kitab-kitab Tasauf Asrarul Arifin, Al-Muntahi, Bayan Ma’rifah, Ruba’i, Syarbul Asyikin, Zinatul Muwahhidin, Martabat Tujuh banyak referensi tentang Hamzah Al Fanshuri tetapi kitab-kitab itu sulit ditemukan dan kabarnya disimpan di Perpustakaan Belanda di Laiden.

Baca Juga :  Hari Guru: Perlu Keprofesional Guru dan Dosen yang Digugu

Menghayati bait syair Hamzah Al Fanshuri sesungguhnya menghayati kehidupan hari ini. Syair Hamzah Al Fanshuri memiliki unsur sufistik dalam Bahasa Melayu. Kosa kata Melayu yang digunakan Hamzah Al Fanshuri menandakan dirinya berada di daerah pesisir atau tepi pantai.

Syair Hamzah Al Fanshuri menandakan dirinya seorang sufi pengelana dalam mencari ma’rifat sampai ke Kudus, Banten, Siam, Semenanjung Melayu, India, Persia dan Arab.

Dari pengelanaan Hamzah Al Fanshuri tergambar rindu kepada sang Al-Khaliq, Sang Pencipta, Allah SWT. Syair Burung Perahu menggambarkan itu, “Jika terkenal dirimu bapak/ Engkaulah laut yang tidak berbagai/ Ombak dan laut tidak bercerai/ Musyahadahmu sana jangan kaulalai//”

Kata laut adalah kehidupan. Kata ombak, menggambarkan Hamzah Al Fanshuri berada di daerah pantai dan Barus berada di tepi pantai barat Pulau Sumatera. Menghayati syair Hamzah Al Fanshuri mengetahui keberadaannya dan apa yang dicarinya.

Menghayati syair syair Hamzah Al Fanshuri, menghayati kehidupan hari ini dan hari esok sampai ke akhirat. Hal ini tergambar pada bait syair Perahu dan bait syair lainnya yang saling berhubungan.

Sudah pasti seorang penyair itu tidak jauh dari syair yang dibuatnya maka syair itulah yang menjadikan seorang itu penyair. Membaca dan menghayati syair Perahu dan syair lainnya Hamzah Al Fanshuri sesungguhnya menghayati kehidupan hari ini dan hari esok tentang hidup di dunia dan akhirat.

* * *

Bagikan :
Scroll to Top