Jakarta | EGINDO.co – Cah rimba merupakan tradisi masyarakat Aceh yang berkaitan dengan pembukaan lahan garapan. Lahan yang akan digarap tentu tidak dibuka secara liar, melainkan sudah diatur oleh adat yang berlandaskan agama Islam. Perangkat desa (geuchik) dan orang-orang yang mengerti masalah perhutanan atau yang biasa disebut petua utenjuga berperan aktif merundingkan dan memperhitungkan pemilihan lahan yang akan digarap. Sehingga, pembukaan lahan tidak mengganggu ekosistem dan merugikan masyarakat.
Tradisi yang telah lama mengakar dalam kebudayaan Aceh ini kemudian menginspirasi lahirnya tari kreasi dengan nama sama. Tari cah rimba coba menggambarkan kembali proses pembukaan lahan, mulai dari persiapan hingga pembagian lahan garapan. Di awal, tari cah rimba menceritakan masyarakat gampong (kampung) yang hidup harmonis. Para pria kemudian digambarkan tengah sibuk mempersiapkan alat-alat yang digunakan untuk keperluan membuka lahan. Sementara, para wanita mempersiapkan bekal makanan untuk mereka yang bekerja membuka lahan.
Sesampainya di hutan, petua uten memimpin doa. Mereka memohon kepada Allah agar pembukaan lahan berjalan dengan lancar. Setelah itu, dimulailah proses pembukaan lahan yang dilakukan secara bergotong-royong.
Â
Â
Melansir Indonesiakaya, untuk menambah unsur dramatis, garapan kreasi ini juga menggambarkan proses pembukaan lahan yang tidak berjalan mulus sesuai rencana. Di tengah pementasan, muncul seorang penari yang disimbolkan sebagai binatang buas. Binatang tersebut coba mengganggu jalannya proses pembukaan lahan. Seorang wanita kemudian berhasil mengusir binatang tersebut menggunakan rumput liar atau yang disebut seumalo.
Setelah lahan selesai digarap, geuchik bersama dengan petua uten membagi-bagikan lahan secara adil yang kemudian digunakan sebagai lahan berladang. Lahan-lahan yang sudah dibagi-bagikan tersebut dibatasi dengan menggunakan pelepah ing atau yang dikenal juga dengan nama gantung situek.
Tari cah rimba merupakan tari kreasi muda-mudi yang dipentaskan oleh 10 orang penari, yang terdiri dari enam orang pria dan empat orang wanita. Para penari mengenakan baju kurung berwarna cerah dengan ornamen bercorak khas Aceh. Busana pria dan wanita penari pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah pada bagian kepala. Jika wanita penari mengenakan penutup kepala, pria penari mengenakan ikat kepala.
Tari cah rimba mengambarkan kearifan lokal masyarakat adat Aceh dalam proses pembukaan lahan garapan. Lebih dari sekadar pertunjukkan tari, dalam garapan kreasi ini, tersimpan kekayaan budaya masyarakat nusantara. Tari cah rimba patut diapresiasi dan dilestarikan, agar kesenian tetap ada dan kebudayaan tetap terjaga.
Â
(ghi)