Alor | EGINDO.co – Suku Alor adalah suku yang mendiami daratan pulau Alor, Pantar dan pulau-pulau kecil di antaranya. Daerah mereka sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Mereka sendiri terdiri atas sejumlah sub-suku bangsa, antara lain Suku Abui, Alor, Belagar, Deing, Kabola, Kawel, Kelong, Kemang, Kramang, Kui, Lemma, Maneta, Mauta, Seboda, Wersin, dan Wuwuli. Pada masa lampau sub-sub suku bangsa tersebut masing-masing hidup terasing di daerah perbukitan dan pegunungan, terutama untuk menghindari peperangan dan tekanan dari dunia luar.
Disanalah mereka mendirikan rumah-rumah bertiang kayu bulat, tinggi dan dengan atap dari alang-alang atau ijuk berbentuk bulat, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, daun lontar atau papan. Karena kurangnya komunikasi di antara mereka, maka berkembanglah berbagai dialek yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain.
Pada abad ke 17-18 di pulau Alor dan Pentar saja terdapat sembilan keranjaan kecil. Ada beberapa variasi dari setiap ras, seperti Mongoloid, Negroid dan Polinesia. Ciri-ciri fisik masyarakat suku Alor antara lain berambut keriting, berkulit hitam, memiliki bahu agak lebar dan memiliki tubuh yang relatif pendek.
Â
Kepercayaan Suku Alor
Pada masa sekarang orang Alor sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Kristen. Agama Islam masuk ke Pantar dan Kalabahi pada zaman pemerintahan Sultan Baabullah dari Ternate. Religi asli orang Alor masih dianut oleh sebagian sub-suku bangsa. Mereka percaya kepada tokoh Maha Kuasa yang disebut Lahatala. Tokoh tersebut hanya mungkin dihubungi lewat perantaraan dewa-dewa, seperti Mou Maha-maha (dewa bumi), Fred (dewa matahari), Ul (dewa bulan). Konsep dewa tertinggi tersebut mungkin berkembang akibat pengaruh agama-agama monoteis yang datang kemudian.
Â
Kebudayaan Suku Alor
Berbagai macam adat serta kebudayaan di Kabupaten Alor, mulai dari tarian, koleksi bersejarah, dan suku tradisional yang masih lekat dengan tradisinya. Salah satu tarian dari Alor yang terkenal adalah tarian Lego-Lego yang disebut Sohhe / Darriz merupakan tarian tradisional Alor.
Tarian tersebut dilakukan secara massal dimana satu dengan lainnya saling bergandengantangan membentuk melingkar sambil mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah dengan menyanyikan lagu pantun dalam bahasa adat. Biasanya tarian tersebut dilakukan semalaman dengan diiringi gong dan moko.
Biasanya dalam setiap ritual maupun upacara adat, Suku Alor biasanya menyajikan makanan khas yaitu jagung bose dan jagung titi.
Â
Perkawinan Dalam Suku Alor
Prinsip hubungan keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga inti disebut kukkus. Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala. Gabungan dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing. Dalam perkawinannya orang Alor menganut adat eksogami klen. Pihak laki-laki wajib membayar sejumlah belis (mas kawin) secara kontan kepada pihak pemberi wanita. Belis tersebut dapat terdiri atas sejumlah uang, gong, selimut (sejenis ikat pinggang) dan moko (sejenis genderang untuk mengiringi upacara).
Selain itu perkawinan dapat pula terjadi tanpa harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus mengabdi beberapa lama untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut perkawinan tukar gadis, dimana laki-laki yang tidak mampu membayar belis menyerahkan saudara perempuannya untuk dikawini pula oleh laki-laki pihak keluarga asal isterinya. Jalan pintas yang ditempuh seorang laki-laki untuk menghindari semua kewajiban belis tersebut biasanya dengan melarikan si gadis. Namun tetap ada sanksinya.
(AR/dari berbagai sumber)